Sudah sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara filantropi, yaitu negara dengan sifat masyarakat yang senang berbagi kepada orang yang membutuhkan. Hal ini dibuktikan dengan Indonesia menduduki posisi pertama sebagai negara paling dermawan di dunia pada World Giving Index 2018 yang dirilis oleh Charity Aid Foundation (CAF). Keadaan tersebut dipicu oleh beberapa faktor seperti anjuran dalam agama untuk membantu sesama, kebudayaan, dan perasaan empati yang tinggi terhadap yang membutuhkan, ditambah lagi dengan adanya perkembangan teknologi yang memudahkan masyarakat dalam berdonasi, salah satunya melalui donasi daring.
Banyak perusahaan berbasis internet telah merilis media berdonasi dengan model crowdfunding. Model ini terjadi ketika banyak orang mendonasikan uangnya  pada suatu proyek. Ada beberapa pemeran utama dalam crowdfunding, yaitu creator (penanggung jawab atau penggagas penggalangan dana), portal crowdfunding (media yang menghubungkan), dan masyarakat (donatur atau pemberi dana). Salah satu perusahaan yang terkenal dengan donasi  metode crowdfunding adalah kitabisa.com.
Sejak didirikan pada 6 Juni 2013 lalu, kitabisa.com telah berhasil mengumpulkan dana lebih dari 500 miliar rupiah dari sekitar 18.000 kampanye sosial. Angka tersebut merupakan angka yang fantastis dalam donasi. Untuk mekanisme berdonasi itu sendiri, donatur membuka laman berdonasi yang diinginkan dan kemudian dapat menyalurkan dana melalui transfer bank, ataupun menggunakan e-money, setelah ditransfer dana tersebut akan masuk ke rekening khusus platform crowdfunding yang nantinya akan disalurkan ke penggalang ketika donasi telah mencapai target.Â
Dibalik semua kelebihan dan kemudahan berdonasi melalui crowdfunding, muncul kekhawatiran  terhadap transparansi laporan keuangan donasi itu sendiri. Untuk mencegah hal tersebut, pada umumnya media crowdfunding tidak memperbolehkan kreator untuk mencantumkan rekening pribadi sehingga segala dana yang masuk harus melalui rekening khusus perusahaan, dan ketika kreator ingin mencairkan dananya, ia harus memiliki rancangan anggaran biaya yang jelas.Â
Selain itu, untuk menjaga kepercayaan dari donatur terhadap perusahaan, umumnya perusahaan mengunggah hasil laporan audit dari pelaporan  keuangan tahunannya sesuai dengan aturan PSAK No.45 mengenai Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba di Indonesia. Laporan  keuangan tersebut  meliputi  laporan  posisi  keuangan, laporan  aktivitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan [PSAK No. 45, Paragraf 9].Â
Berbagai upaya tersebut dinilai masih belum cukup dalam mencegah terjadinya fraud. Seperti pada kasus penggalangan dana yang dilakukan oleh Cak Budi pada 2017 silam, ia terbukti menggunakan uang donasi untuk membeli barang mewah konsumsi pribadi, seperti mobil dan smartphone.Â
Kasus lain yang masih menjadi perdebatan adalah kasus penggalangan dana oleh Kay Jessica untuk pendanaan biaya perkuliahannya, ia berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 181.734.969, melampaui target awalnya, yaitu Rp178.576.669. Kasus ini menjadi perdebatan setelah beredar foto jessica dengan barang-barang mewahnya, sementara dalam penggalangan dana disampaikan bahwa ia sedang mengalami kesulitan ekonomi. Tentu saja secara legalitas hal ini sulit diperkarakan karena cenderung dilihat dari sisi ethical yang subjektif. Meskipun platform berdonasi sudah melalui pengecekan pelaporan keuangan, namun tidak adanya pelaporan keuangan untuk penggalangan dana oleh individu, sehingga masih rentan akan penyalahgunaan.
Selain itu, dalam Undang-Undang RI nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, dinyatakan bahwa para penggalang bantuan harus memiliki izin dari pejabat berwenang kecuali yang diwajibkan oleh hukum agama, adat, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas seperti kotak amal untuk kebutuhan tempat ibadah. Terkait dengan transparansi penggunaan dana sumbangan dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa penyelenggara penggalangan dana, harus mempertanggungjawabkan penggunaannya kepada pemberi izin atau pejabat berwenang.
Maka dalam kasus penggalangan dana oleh individu yang cakupannya luas tidak mengenal batas wilayah dan agama, seperti dalam crowdfunding online, aturan tersebut justru semakin menyulitkan terjadinya transparansi dikarenakan harus melalui proses dan birokrasi yang panjang terlebih dahulu.
Kemajuan perkembangan teknologi telah memudahkan masyarakat dalam berdonasi dan meminta bantuan, salah satunya melalui metode crowdfunding online dengan platform yang sudah disediakan oleh beberapa perusahaan. Perkembangan teknologi ini diharapkan dapat diiringi dengan perkembangan regulasi dan aturan yang tepat, agar penipuan atau fraud dalam berdonasi dapat dicegah dan ditangani dengan lebih efektif, sehingga penyaluran dan penggalangan dana dapat berjalan dengan lancar.