Mengingat sejarah panjang terbentuknya sistem perpajakan, penting bagi kita untuk tetap menelusuri perkembangan pemikiran yang membentangkan jalan menuju pembangunan nasional. Jejak lampau perpajakan dimulai dari defisit yang muncul pada masa peperangan, diinisiasi oleh Amerika Serikat dengan dalil pajak sebagai usaha darurat untuk mendanai kebutuhan perang negara, atau pada masanya lazim dikenal dengan 'The Revenue Act of 1861'.Â
Setelah lebih dari 150 tahun berevolusi, pajak masih kuat bertahan pada hakikatnya mengatasi 'perang'. Melintasi berbagai kronologi, pajak telah berkembang secara global sehingga dapat diterapkan sesuai kebutuhan serta karakteristik masing-masing negara. Sayangnya, 'perang' yang tengah dihadapi kebanyakan negara juga turut meruak menjadi musuh modern nan menggentarkan.
Indonesia dengan Tax Ratio tahun 2017 sebesar 10,4% terhadap PDB (di bawah target 11,5%) menandakan kekhawatiran seharusnya bukan hanya dititikberatkan pada perundang-undangan, sistem, serta desain perpajakan yang telah diusahakan pemerintah. Perhatian juga harus mulai berfokus pada kebudayaan masyarakat serta keinginannya untuk tetap memenuhi beban pajak sebagai kewajiban yang memerdekakan bangsa.Â
Faktanya, memang benar sudah ada strategi tegas dari pemerintah, bermula dari Tax Amnesty, keterbukaan akses informasi keuangan domestik, bergabungnya Indonesia dengan Automatic Exchange of Information (AEoI), hingga berbagai teknologi elegan seperti Blockchain, Artificial Intelligence, maupun Internet of Things yang tentunya sekaligus merupakan cuplikan dari masa depan perpajakan dunia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila pergerakan strategis tersebut diiringi dengan ambisi untuk memperbaiki diri, bukan sekadar meneriaki atau bahkan lari, teguh pada statusnya yang tidak peduli.
Dilansir dari sebuah jurnal, Georgi Boos (1999) menyatakan bahwa, "There isn't any country where people are happy to pay taxes but they do pay taxes because of their Tax Culture". Berdasarkan pernyataan tersebut, ada hal yang menarik untuk diperbincangkan. Â
Selaras dengan makna dari terminologi 'Tax Morale' sebagai motivasi intrinsik untuk membayar pajak, studi mengenai Tax Morale berupaya lebih banyak menjelaskan mengenai mengapa orang-orang tetap membayar pajak meskipun ada kesempatan untuk tidak membayar dengan sedikit kemungkinan memperoleh sanksi atau penalti. Masih relevan dengan keinginan membayar pajak, pemahaman terhadap Tax Morale juga penting dikembangkan dalam memerhatikan sisi perekonomian yang belum mampu diraup secara resmi oleh sektor perpajakan, yakni 'Underground Economy' atau biasa disebut juga 'Shadow Economy'.Â
Berkaitan erat dengan tingkat kepatuhan yang amat rendah secara keseluruhan, Federasi Rusia pun menyampaikan gagasan yang berbunyi, "We need to develop a tax culture which nobody wants to recognize". Pembentukan budaya atau sistem secara halus, perlahan, namun kuat secara fundamental. Sebagaimana bahasa membentuk cara berpikir manusia dari waktu ke waktu, berbeda tiap negaranya sembari menggambarkan karakteristik nyata sebagai jati diri. Hal ini demi mengikis interpretasi tentang 'Tax Culture' yang sering kali kita dalami sebagai kepatuhan yang diciptakan oleh rasa takut. Adakah kesempatan bagi Tax Morale untuk menyelusup dan memanifestasi nilai-nilai positif dalam Tax Culture, khususnya di Indonesia?
Mengutip apa yang pernah dikatakan Hillary Clinton, "We need to prioritize taxing the powerful. We also need to inculcate in the minds of our next generation (particularly through school and college syllabi) that paying taxes is an essential part of a civilized and healthy society", sebenarnya sejalan dengan Kementerian Perpajakan di Federasi Rusia yang bercita-cita untuk menghapuskan tax illiteracy masyarakat umum. Salah satunya dengan program menanamkan Tax Culture yang baik di kalangan anak-anak usia pra-sekolah.Â
Dengan menghadirkan berbagai wawasan perpajakan melalui cerita seperti drama panggung anak-anak, orang tua pun dituntut untuk menghadirkan kebanggaannya dalam memenuhi kewajiban membayar pajak di hadapan generasi penerus bangsa. Bayangkan, isu-isu perpajakan disederhanakan menjadi kisah menarik, bahkan kisah baru dari 'Peterpan' atau 'Si Cantik dan Si Buruk Rupa' abad selanjutnya, tentunya dalam setelan yang menyenangkan bagi anak-anak. Walaupun belum ada bukti nyata yang mendukung kebenaran ide eksentrik ini, sekali lagi paparan tersebut sejalan dengan pandangan mengenai pembentukan ulang Tax Culture yang memang membutuhkan proses antar generasi. Memajukan budaya seperti membangun adab, mendasar selayaknya menanamkan moral sesederhana etika dalam keluarga.
"Hoping all taxpayers will dutifully comply with tax laws is like expecting a moth to reach the moon" (Fisman and Miguel). Meskipun sepakat dengan pernyataan tersebut, harapannya adalah kesadaran akan pentingnya peningkatan kolaborasi antara Tax Morale dengan konsep Tax Culture dapat membawa sistem dan budaya perpajakan Indonesia menuju peradaban yang lebih matang dan bermanfaat. Bukan lagi memandang perpajakan sebagai perumpamaan 'Tax the rich and spend on the welfare of all and sundry', melainkan 'Tax the great nation and spend on the welfare of all and sundry'.
Ditulis pada: 20 September 2018