Mohon tunggu...
S K
S K Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang anak yang tinggal di Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gado-Gado dan Sushi: Juara Sejati

13 Mei 2014   04:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naomi bergegas pergi ke genkan. “Papa Mama, ittekimasu!” Salamnya sambil memakai sepatu. “Itterassyai,” jawab Papa dan Mama. “Naomi, ganbattene!” Kata papa bersemangat. “Papa dengar ceritamu nanti malam.” Naomi mengangguk. “Nanti Mama akan datang ke sekolah lebih cepat, ya”, kata Mama sambil membenarkan topi jaket yang terhimpit ransel Naomi. Dengan setengah berlari Naomi menjawab, “Oke!”

Aduh, aku hampir terlambat lagi.” Ucap Naomi di dalam hati.“Aku harus segera sampai di tempat kumpul dalam tiga menit untuk pergi ke sekolah bersama anggota kelompok lainnya.”

Kakakku yang sudah tiba di tempat kumpul lebih dahulu menatapku dengan kesal. Lagi-lagi aku tiba dengan waktu pas-pasan. GIri-giri, demikian sebutan orang Jepang. Setelah masuk barisan, kami segera berjalan. Hari ni cerah meskipun suhu berkisar delapan derajat Celcius. Hari yang bagus untuk mencoba melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Mampukah aku? Bisakah aku menyusul Miho-chan yang badannya jauh lebih tinggi dariku? Kapan waktu yang tepat untuk mendahuluinya?

Pagi ini ada lomba lari marathon di sekolah. Lomba ini dilakukan setiap tahun biasanya pada musim dingin. Lomba marathon harus diikuti oleh seluruh anak per angkatan. Hanya anak-anak yang sedang flu atau membawa surat khusus dari orang tua yang boleh menghindar dari lomba ini. Di tahun-tahun sebelumnya aku selalu menjadi pelari terakhir yang mencapai garis finish. Tapi aku tak pernah absen mengikuti lomba. Biarpun paling belakang, aku tidak pernah menyerah. Tahun ini aku akan berlari sejauh 1300m.

Sejak sebulan yang lalu papa dan mama memberi semangat padaku untuk mencoba sesuatu yang baru. “Bagaimana kalau tahun ini target Naomi menyusul satu orang? Satu orang saja. Papa yakin kamu bisa.” Kata Papa di meja makan. “Ide yang bagus. Bagaimana menurutmu, Nak?” Tanya Mama kepadaku. “Tahun lalu kamu berada hanya beberapa meter di belakang Miho-chan.” Tambah mama lagi dengan antusias. “Mama masih ingat, setelah berlari separuh rute, jarakmu dan Miho-chan semakin dekat. Staminamu lebih kuat.”

Menyusul satu orang?  Kedengarannya mudah, tetapi sukar untuk dilakukan. Aku bukan anak yang mampu berlari cepat. Apalagi Miho-chan berbadan tinggi dan berkaki panjang. Satu langkahnya sama dengan dua langkahku. Tapi perkataan mama barusan benar adanya. Stamina Miho-chan kendor ketika kami berlari setengah rute. Semakin lama jarak kami semakin pendek. Pada awal lomba, aku berlari jauh di belakang tetapi lama kelamaan posisiku hanya beberapa meter saja di garis finis. Sejak kelas satu SD aku dan Miho-chan adalah dua pelari terbelakang dalam lomba lari marathon sekolah.

“Kalau Naomi bisa menyusul satu orang, Papa Mama akan memberi hadiah padamu. Apa saja yang kamu inginkan.” Apa saja yang aku inginkan? Terdengar sungguh menggoda. “Aku mau pergi ke karaoke!” Teriakku spontan. Sudah lama aku ingin mencoba karaoke. Kata teman-teman yang sudah pernah pergi ke sana, menyanyi di karaoke sungguh mengasyikkan. Apalagi aku suka sekali menyanyi. “OKE!” Jawab Papa, Mama dan Oniichan serentak menyetujui permintaanku. Tadinya mereka mengira Naomi akan meminta mainan atau tas baru yang bisa dinikmati oleh Naomi sendiri. Hadiah yang diinginkan Naomi adalah hadiah yang bisa dinikmati bersama. Khas Naomi.

“Yosh! Aku akan menyusul satu orang. Aku akan menyusul Miho-chan!” Ikrar Naomi dengan lantang.

Tapi, bagaimana caranya?

Hampir setiap malam kami membahas hal ini. Berbagai analisa dikemukakan. Fakta tahun-tahun lalu menjadi dasar analisa kami. Fakta terbaru juga menambah poin-poin yang harus diperhatikan. Fakta bahwa beberapa temanku mulai gemuk pada tahun ini memperbesar harapanku untuk bisa menyusul satu orang. Ya, aku hanya perlu menyusul satu orang saja. Siapa pun itu.

“Naomi, tadi siang Mama jalan kaki melewati sekolahmu. Mama lihat Aya-chan dan Aki-chan semakin gemuk tahun ini. Lari mereka pasti menjadi lebih lambat. Benarkah?” Tanya Mama sambil menyodorkan yoghurt vanilla kesukaanku. “Bagaimana latihanmu hari ini?” tambahnya lagi. Aku mulai menyantap yoghurt yang ada di depanku. Aku tahu pasti, mama bukan jalan kaki melewati sekolah akan tetapi jalan kaki ke sekolah. Pasti mama mengintip latihan kami hari ini. Mama ingin tahu situasi kami terkini. Mama ingin aku bisa menyusul satu orang. Mama ingin misiku berhasil.

“Ya. Beberapa temanku mulai gemuk sekarang. Tetapi mereka tetap dapat berlari cepat. Aku sudah berusaha berlari secepat mungkin, tetapi tetap saja aku dan Miho-chan berada di urutan belakang.” Aku yakin mama tidak perlu penjelasanku.

Mama mendekati wajahnya ke wajahku. Sambil berbisik seolah-olah ada Miho-chan, Aya-chan dan Aki-chan di rumah kami, mama berkata, “Tingkatkan tempo larimu di pertengahan rute ketika jarakmu hanya beberapa meter dari Miho-chan. Kebut! Setelah menyusul beberapa meter kamu bisa mengurangi tempo. Tapi ingat, jangan terlalu lambat. Selama berada beberapa meter di belakang Aki-chan posisimu aman. Setelah putaran terakhir berlarilah sekuat tenaga.” Mama malah berlari di tempat seolah ialah pelarinya. “Bayangkan di depanmu ada panggung dan mike yang menunggumu. Mereka berteriak, “Cepat Naomi! Kemarilah!” Dan kamu menjawab, ”Aku datang! Sekarang!”” Mama memegang mike mainanku dengan tangan kanan dan menepuk bahuku dengan tangan kiri sambil berkata, “Mama yakin tidak ada yang mampu menyusulmu lagi.” Lalu ia bergaya seperti penyanyi professional. Pura-pura bernyanyi tanpa suara dan menutup mata menghayati lagunya. Setelah itu memberi hormat kepada penonton yang bertepuk tangan. “Bagaimana?” Tanya mama malu setelah sadar aku memandangnya dengan mata menyipit dan kening berkerut.

Aku mengangguk setuju. Benar sekali. Aku hanya perlu berlari sekuat tenaga di bagian paruh akhir dan membayangkan para supporter yang berada di lapangan olah raga adalah para fansku. “Wow! Mengasyikkan!” Teriakku dalam hati. Malam itu aku dan mama tertidur dengan impian besar kami. Menyusul satu orang.

Sanggupkah aku menyusul satu orang hari ini? Pertanyaan itu selalu terngiang di benakku. Mampukah aku berlari sekuat tenaga di pertengahan rute? Akankah Miho-chan membiarkan aku menyusulnya? Apakah hari ini adalah hari bersejarah dalam hidupku? Apakah Tuhan memudahkan jalanku? Bagaimana rasanya menjadi pelari yang mampu menyusul satu orang?

Rasa gugup, gairah dan penasaran bercampur aduk di dadaku. Selama latihan aku tak pernah berhasil menyusul Miho-chan. Ia selalu berlari lebih cepat ketika aku berada di sisinya. Kaki-kakinya memang lebih panjang dariku. Satu langkahnya berarti dua- tiga langkahku.

Tetapi Papa, Mama dan Oniichan selalu membesarkan semangatku. “Saigo made wakaranai yo, Akiramete ha ikenai.” Begitu kata mereka setiap hari. “Teruslah mencoba sampai saat akhir, jangan menyerah,” demikan nasihat mereka.

Aku menyerahkan kertas karton kesehatan yang berisi data kondisi tubuhku selama satu bulan terahir kepada bapak guru sebagai salah satu persyaratan ikut lomba hari ini. Kami wajib mencatat suhu tubuh setiap pagi, jam tidur, jam bangun, makan, bap dan absensi lari. Pada saat kondisi kurang baik kami boleh berjalan atau tidak mengikuti latihan.

Kami berbaris di lapangan. Aku melihat Mama sudah berdiri di lapangan. Papa tidak dapat hadir karena pekerjaannya. Kakakku Ryo masih belajar di kelas. Anak-anak kelas lima akan bertanding satu jam berikutnya.

Pertandingan dimulai oleh anak laki-laki terlebih dahulu. Sewaktu anak laki-laki berlari para orang tua berteriak untuk memberi semangat kepada anak-anaknya. Ibuku berdiri di sisi lapangan yang kosong bersama dua orang ibu lain.

***

Setelah putriku berangkat aku membereskan dapur dan menjemur pakaian secepatnya. Aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku ingin tiba lebih cepat untuk menemukan tempat yang pas untuk memberi semangat pada putri mungilku. “Oh Tuhan, berikanlah anakku kekuatan agar ia dapat berlari sampai akhir. Jika menurutMu ia mampu menyusul satu orang, ringankanlah langkahnya. Berikanlah putri kami kesempatan untuk merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakannya. Kali ini berikanlah ia kesempatan untuk tidak menjadi yang terbelakang,” doaku di dalam hati.

Marathon anak laki-laki dilakukan lebih dulu. Aku ikut berteriak untuk memberi semangat kepada mereka. Terutama pada anak-anak yang aku kenal dan kepada para pelari yang berada di belakang. Situasi mereka mengingatkanku pada Naomi. Aku paham betul betapa keras usaha mereka untuk dapat menyelesaikan lari marathon. Usaha itu tidak saja pada fisik tetapi juga pada psikis. Kenyataan menjadi pelari terbelakang adalah fakta yang tidak menyenangkan.

Ganbare!” atau “Mousukoshi!” Itulah teriakan pemberi semangat yang paling banyak diteriakkan. Teriakan penonton benar-benar memberi semangat pada pelari.

Tidak jauh dari tempatku berdiri ada seorang ibu yang berdiri seorang diri. Ketika anaknya mendekat, ia berteriak, “Mario! Ingat Mario!”

Tiba-tiba saja anak itu menjadi pelari super cepat. Kata “Mario! Ingat Mario!” adalah kata sakti yang sangat efektif. Rupanya sang ibu menjanjikan game Super Mario Brother terbaru jika peringkat sang anak lebih baik daripada tahun lalu. Suara nyanyian game khas Mario terngiang di telinga si anak. “Te ro ret! Kling!” Demikian bunyi yang terdengar ketika sang anak menyusul satu anak. Anak-anak yang berlari di depannya tampak seperti pundi-pundi emas yang patut ditaklukkan. “Kling!” Satu orang tersusul. “Kling! Kling!” Dua pelari terlewati. Dengan semangat ia mengumpulkan pundi-pundi emasnya.

Aku dan beberapa ibu lain tertawa geli mendengar teriakan ibu tadi. Bagi sebagian orang tua keinginan untuk menjadi lebih baik di sekolah adalah sesuatu yang wajar dan alami. Tetapi ada tipe orang tua yang merasa perlu memberikan insentif kepada anaknya sebagai motivasi. Salah satu orang tua model itu adalah kami. Kami tak ingin Naomi merasa kecil hati karena selalu berada di posisi terakhir. Kami khawatir kalau Naomi tidak punya rasa percaya diri. Kami menyogok Naomi agar termotivasi.

Setelah marathon untuk anak laki-laki selesai tibalah giliran marathon untuk anak perempuan. Aku bersorak menyemangati Naomi. Seluruh tubuhku bergetar. Sejujurnya aku sangat ingin putriku menyusul satu orang hari ini, mungkin lebih daripada anaknya sendiri.

Para pelari cepat memilih tempat di depan. Naomi memilih untuk berada di posisi aman, paling belakang. Ia tak ingin terdesak bahkan terjatuh karena persaingan ketat di antara anak-anak tersebut. Pada menit pertama dan kedua jarak antar pelari masih pendek. Pada menit ketiga jarak para pelari mulai longgar. Barisan pelari mulai terurai. Beberapa anak berlari di depan, sebagian besar berlari di tengah dan beberapa anak lagi berlari di belakang. Aya-chan dan Aki-chan yang gemuk mulai melambat. Di belakangnya ada Miho-chan dan Naomi. Naomi berusaha mendekati Miho-chan.

Aku memilih berdiri di pertengahan rute. Itu adalah posisi terbaik untuk memompa semangat putriku. Sesuai skenario Naomi akan berlari sekencang-kencangnya pada titik itu. Perlahan tapi pasti, aku melihat Aya-chan dan Aki-chan yang berlari bersebelahan. Kira-kira 20 meter di belakang mereka ada Miho dan Naomi. Ketika mereka berada sekitar 10 meter dari tempatku berdiri aku melihat bahwa Miho terlihat letih. Inilah saatnya. Aku berteriak sekuat-kuatnya, “Ayo kebut! Ingat karaoke..!” Mendengar itu Naomi berlari sekencang-kencangnya. Mirip motor yang siapmenyalip. Jarak dengan Miho yang semakin menipis menyulut perhatian para penonton. Mereka ikut berteriak menyemangati Naomi. Bapak guru ikut melompat-lompat. Suara gemuruh di lapangan membakar semangat putriku. Jaraknya dengan Miho semakin pendek. Miho yang baru sadar akan bahaya yang datang dari belakang mempercepat larinya. Tapi Naomi tidak dapat dibendung lagi. Ia berlari bak meteor yang terjun menghantam bumi. Persis di depan tempatku berdiri ia mampu menyusul Miho-chan!

Peristiwa itu bagaikan mukjizat bagiku. Dunia bergerak sangat lambat, seperti slow motion dalam film. Putriku bisa menyusul satu orang! Dan kejadian itu persis di depan mataku! Aku melompat-lompat sambil mengangkat tangan ke udara. Sambil tak henti-hentinya berteriak, “Terus! Lari sekencang-kencangnya! Karaoke!” Tepuk tangan dan teriakan penonton lain terdengar seperti simfoni yang indah.

Miho terkejut atas kejadian itu. Ia sadar kalau Naomi berhasil menyusulnya. Gadis cilik itu berusaha mempercepat larinya, tapi Naomi tak dapat disusul lagi. Atau, mungkin juga ia masih tak percaya atas apa yang baru saja terjadi sehingga ia tidak dapat meningkatkan kecepatannya.

Wajah Miho terlihat pucat setelah sadar bahwa Naomi mampu menyusulnya. Ia merasa kecewa. Ia sudah kecolongan. Naomi yang mungil sudah berada di posisi yang sulit untuk disusul. Sekarang Naomi berlari di belakang Aya-chan dan Aki-chan.

Tak lama kemudian Aya-chan sampai di garis finish disusul oleh Aki-chan. Tidak jauh di belakang mereka ada pelari mungil favoritku. Wajahnya berseri-seri. Para guru dan orang tua murid memberi tepukan meriah. Mereka tahu bahwa hari ini Naomi membuat rekor baru. Hari ini dia bukanlah yang terbelakang. Aku masih melompat-lompat ketika ia tiba dan terus memberi tepukan sampai Naomi duduk bersama pelari lain. Tinggal Miho-chan yang masih berlari sendirian. Ia berlari ditemani seorang guru sambil menangis tersedu-sedu. Teriakan dan tepuk tangan penonton tak mampu menghilangkan kesedihannya.

Sekarang aku merasa kasihan atau lebih tepatnya merasa bersalah pada Miho-chan. Ia tersusul oleh siswa yang selama ini dikenal paling lemah fisiknya. Ia merasa harga dirinya terinjak-injak.

Aku jadi diam terpaku. Situasi berbalik menjadi tidak enak. Di satu sisi aku bangga pada putriku tetapi di sisi lain kemenangan itu harus dibayar dengan tangisan Miho-chan.

Pak guru berusaha menghibur Miho-chan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Masih ada kesempatan untuk menebus kekalahannya, masih ada tahun-tahun mendatang. Naomi menghampiri Miho dan menepuk-nepuk punggungnya. Ia berusaha menghiburnya. Pemandangan itu membuatku menitikkan air mata. Putri kecilku adalah bidadari yang diutus ke bumi.

***

Kami berempat memasuki ruang karaoke. Ada empat mike tersedia. Naomi segera meraih satu mike dan berdiri di depan siap untuk bernyanyi. Ia menunggu aba-aba. Papa meraih satu mike dan berkata,” Inilah dia Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, penyanyi cilik istimewa yang baru saja merubah sejarah. Kami perkenalkan, NA-O-MI-!” Semua bertepuk tangan. Naomi terlihat malu-malu tetapi sangat bahagia. Ia tersenyum dan memberi hormat kepada para fansnya. “Boleh wawancara sebentar?” Tanya papa.

Dengan senyum dikulum ia mengangguk, “Silakan.”

“Bagaimana rasanya mampu menyusul satu orang?”

“Senang sekali,” katanya dengan wajah berbunga-bunga.

“Apakah tahun depan Naomi-san akan mencoba melakukannya lagi? Menyusul dua orang, mungkin?”

“Mm... tidak,” jawabnya pendek.

Penonton terdiam.

“Bisa dijelaskan alasannya?”

“Mmmm,” katanya sambil sesekali menutup mulutnya karena malu menjadi pusat perhatian.

“Karena aku tak ingin membuat temanku menangis.”

“Bukankah perasaan sedih itu menimpa Naomi-san sendiri sewaktu berada di posisi yang sama?”

“Mm… menjadi paling belakang tidak menjadi masalah bagiku. Karena aku tahu, kalau mau aku bisa melakukan apa saja.”

Penonton terdiam termangu, atau lebih tepatnya terkesima.

“Ayo, mainkan musiknya, Papa. Putar lagunya,“ Naomi memberi instruksi. “Lagu ini kupersembahkan kepada Papa, Mama, Oniichan dan temanku, Miho-chan.”

Lagi-lagi kami diam tak bergerak. Naomi memang sering membuat kejutan. Bosan dengan reaksi kami yang serba lambat Naomi segera meraih mike yang kami pegang. Ia memegang 4 mike sekaligus dan mulai bernyanyi. “Hanaya no miseaki ni naranda….” (Dari lagu Sekai Ni Hitotsu Dake No Hana, Bunga Yang Hanya Satu di Dunia, karangan Noriyuki Makihara.)

Selamat Hari Ibu.

Mari kita lakukan yang terbaik untuk anak cucu kita.

***

Ittekimasu: persalaman sewaktu meninggalkan rumah.

Itterassyai: jawaban dari Ittekimasu.

Ganbattene: Semangat ya.

Genkan: ruangan di depan pintu masuk untuk menaruh sepatu dan menyambut tamu.

Ganbare: Semangat.

Mousukoshi: Sedikit lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun