Skrg hal itu terjadi lagi seperti becandaan "anak Jaksel".Itu fenomena sosial pada kelas Menengah. Tujuannya pun sama.
Ivan Lanin, seorang pakar bahasa dan penulis buku "Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?", mengatakan bahwa pencampuran bahasa ini dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.
"Kecenderungan menyukai sesuatu yang asing bukan hanya terjadi di bahasa tapi di segala hal lain. Dengan bicara dicampur, mereka berusaha menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Sejak zaman penjajahan Belanda pun bahkan pendiri negara juga bicara bahasa campuran, tapi yang dicampur bahasa Belanda dan bahasa daerah," ucap Ivan Lanin.
Orang yang menjadi "panutan bahasa" di media sosial ini pun mengatakan bahwa ia setuju dengan pendapat Bernadette, jika pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing belum memasuki tahap yang mengkhawatirkan jika masih dipakai dalam percakapan sehari-hari.
"Kecuali jika mereka mulai memakainya dalam situasi yang formal baru boleh mulai khawatir," ungkap Ivan Lanin lebih lanjut.
Seorang warga Jakarta yang lahir dan besar di Jakarta Selatan, Jerome Wirawan menjelaskan bahwa kebiasaan berbicara bahasa yang dicampur dengan bahasa Inggris tidak ada saat dia masih sekolah pada tahun 1980-an. Bahasa Inggris mulai diajarkan pada sekolah menengah pertama dan bukan di sekolah dasar.
Selain itu, profil Jakarta Selatan sejak dulu memang sudah dikenal sebagai kawasan kelas menengah dan ketimpangan sosialnya yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah Jakarta yang lain. Jakarta selatan juga justru bukan kawasan yang menjadi pusat ekonomi, melainkan kawasan yang konsumtif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H