Demokrasi ramai diteriakkan pasca runtuhnya rezim Soeharto. Bendera demokrasi menjadi bendera yang dinaungi para demonstran dalam menyampaikan aspirasinya. Bahkan untuk aksi demo anarkis sekalaipun. Alih – alih mengatasnamakan demokrasi aksi demo anarkis yang justru merusak fasilitas umum atau bahkan merugikan. Contohnya kemacetan akibat aksi demo yang terkadang berdampak pada penutupan jalan. Kemudian aksi demo anarkis yang merusak fasilitas umum seperti pengerusakan pintu gerbang kantor yang menjadi sasaran demo. Padahal untuk membangun itu semua juga menggunakan uang rakyat. Sedangkan mereka mengatasnamakan rakyat untuk membela hak – hak rakyat.
Aksi demo biasanya lebih didominasi oleh mahasiswa, terlebih untuk aksi demo – demo yang berujung anarkis.
Mengapa bukan pelajar?
Pola pikir pelajar yang notabene remaja cenderung masih dipandu atau dogmatis. Karena dalam pembelajaran pun pelajar seperti hanya dicekoki oleh guru. Sekali pun ada pelajar yang kritis, pola pembelajaran di sekolah kurang mendukung untuk menerapkan pola pembelajaran seperti di kampus. Selain itu remaja cenderung lebih memilih bermain dan bersenang – senang dengan teman – temannya ketimbang melakukan aksi demo.
Mengapa bukan pekerja?
Memang tidak sedikit pekerja yang melakukan aksi demo. Namun aksi demo yang mereka lakukan hanyalah aksi demo yang menurut mereka berkaitan dengan kepentingan mereka. Seperti aksi demo buruh yang meminta kenaikan upah minimum atau aksi demo dokter yang menarik perhatian masyarakat. Itu pun lebih sering direalisasikan dengan cara mogok kerja. Selain yang berkaitan dengan kepentingannya, para pekerja lebih memilih untuk bekerja mencari nafkah. Karena orang yang bekerja pasti telah memiliki tanggungan hidup.
Mengapa mayoritas demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa?
Mahasiswa memiliki jiwa sosialis dan nasionalis yang enderung kuat. Sehingga mereka berusaha memperjuangkan hak – hak kaum yang tertindas. Namun terkadang pola pikir mahasiswa cenderung kurang berpikir panjang untuk aksi demo – demo yang anarkis. Selain itu pola belajar mahasiswa tidak lagi seperti siswa. Mahasiswa dituntut untuk melakukan pembelajaran di luar kelas. Pembelajaran di lapangan jauh lebih penting ketimbang pembelajaran di kelas, meskipun pembelajaran di kelas juga diperlukan untuk mengarahkan mahasiswa ketika sudah terjun ke lapangan. Atau untuk aksi demo mahasiswa dapat kita katakan istilah kasarnya, “mahasiswa yang tidak punya kerjaan”. Karena sebenarnya masih banyak hal lain yang lebih berguna untuk masa depanmereka yang bisa dilakukan dari pada harus berdemo yang anarkis. Apalagi sampai membawa nama organisasi yang menaunginya dalam melakukan demo anarkis tersebut. Jika sudah begini perlu dipertanyakan. Apakah mereka benar – benar memperjuangkan hak rakyat, atau hanya mencari eksistensi untuk organisasinya semata?
Di satu sisi mahasiswa yang melakukan demo memiliki jiwa nasionalis yang tinggi patut diacungi jempol. Hanya saja mungkin jiwa yang berapi – api tersebut belum bisa dikontrol dengan tepat. Dan untuk di Jogja sendiri sebagai kota pelajar, demo – demo pasti banyak ditemukan. Jadi bisa dibilang istilah “dimana ada mahasiswa di sana ada demo”, itu ada benarnya juga. Terlebih lagi partai – partai yang bermunculan di kampus berusaha melakukan eksistensi diri yang salah satunya dengan demo tersebut , agar bisa menjadi partai besar. Karena dengan begitu, jelas nantinya mengundang banyak mahasiswa untuk bergabung ke dalam partai. Dengan begitu partai akan tetap hidup. Karena kampus sendiri merupakan miniatur pemerintahan yang dirancang sedemikian rupa, agar mahasiswanya dapat belajar berkecimpung dalam pemerintahan.
Universitas Islam Neger (UIN) Jogja adalah kampus di Jogja yang paling sering ditemukan mahasiswanya melakukan aksi demo. Bahkan belakangan ini terkait isu kenaikan UKT, satu persatu kelompok mahasiswa atau partai melakukan aksi demo menolak rencana kenaikan UKT tersebut. Pamor UIN Jogja sebagai kampus demo telah cukup dikenal kalangan masyarakat sekitar Jogja. Saya pernah ditanya seseorang, “Kuliah dimana mbak?”. Saya menjawab, “Di UIN, Pak.”. Orang tersebut bertanya lagi, “Lho, gak ikut demo?”. Pernah lagi ketika pertama kali Saya datang ke Jogja dan mencari kos, saya mengobrol dengan pemilik kos. “Wah, jalanan macet, ada orang demo,” keluh Saya. Pemilik kos merespon, “Nah, kayak gitu dah nanti teman –temanmu.”.
Setidaknya dari dua pengalaman tersebut cukup untuk menggambarkan perspektif masyarakat paling kuat terhadap UIN Jogja adalah mahasiswanya yang hobi demo. Sampai – sampai perempatan antara kampus timur dan kampus barat UIN dijuluki sebagai perempatan revolusi. Di perempatan tersebut memang sering digunakan sebagai tempat melakukan demo atau sekedar untuk berlatih orasi mahasiswa. Karena tidak bisa dipungkiri terkadang keahlian berorasi juga penting dimiliki. Karena bangsa yang saat ini merdeka adalah hasil dari terbakarnya jiwa nasionalisme pemuda dan rakyat oleh orasi Soekarno. Dan salah satu media untuk melatihnya adalah dengan demo. Namun harus tetap dipahami bahwa demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H