[caption id="attachment_302862" align="aligncenter" width="300" caption="Yudi paling kiri atau paling depan"][/caption]
Bekerja sebagai pewarta foto bagi Yudi Karnaedi, seorang pewarta foto PT Bali Post memiliki tantangan tersendiri baginya. Terlebih lagi dirinya sama sekali tidak memiliki basic pendidikan di bidang tersebut. Pendidikan terakhirnya adalah sarjan teknik di Politeknik Negeri Bali tahun 2003. Namun bermula dari hobinya pada dunia fotografer membuatnya akhirnya berkecimpung di dunia jurnalis, meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai teknisi informatika. Yudi, sapaan akrabnya telah beberapa kali menjuarai lomba fotografer. Ia bergabung dengan PT Bali Post sejak tahun 2005 hingga sekarang. Saat itu ia hanya iseng mengirimkan foto hasil jepretannya ke Bali Post. Kemudian karena hasilnya Bagus, ia ditawari kerja di Bali Post. Awalnya ia hanya berstatus sebagai pewarta foto lepas yang hanya menerima gaji tidak tetap yang hanya berdasarkan foto hasil jepretannya yang dimuat di surat kabar. Namun lambat laun, ia diterima sebagai pewarta foto tetap yang bekerja dalam tim. Saat itu gaji pertamanya sebagai pewarta foto telah cukup untuk membayar kos dan makan.
Pewarta foto merupakan bagian dari jurnalis. Secara garis besar tugas pewarta foto tidak jauh berbeda dengan reporter. Hanya saja pewarta foto menyampaikan suatu peristiwa secara non verbal melalui gambar-gambar yang diambilnya. Sedangkan reporter menyampaikan secara verbal melalui peristiwa yang secara jelas disampaikannya dengan tulisan. Pewarta foto dituntut untuk bisa mendapatkan gambar yang bisa menerangkan 5W + 1H. Sehingga cukup dengan caption (keterangan yang ada dibawah foto –red) yang dituliskan di bawah foto saja, telah bisa menjelaskan peristiwa yang ingin disampaikan. Dalam dunia kerja, idealnya baik reporter maupn pewarta foto merupakan satu tim dalam mencari sebuah berita. Mulanya editor memberikan cerita (tugas atau peristiwa yang harus diburu –red) kepada reporter. Kemudian reporter menyampaikan kepada editor foto (penanggung jawab foto mengenai cerita atau berita yang hendak diburu –red) yang kemudian editor foto menyampaikan kepada pewarta foto yang ditentukan untuk ditugaskan berburu foto.
Foto akan lebih memperjelas gambaran peristiwa yang terjadi di lapangan. Sehingga dalam tim, pewarta foto jelas dituntut untuk berusaha mensinkronkan gambar yang didapatkan dengan berita yang reporter dapatkan. Layaknya komunikasi non-verbal, gambar lebih mampu berbicara dibandingkan tulisan. Sehingga ada kejujuran dalam komunikasi non-verbal atau dalam konteks ini adalah foto. Semakin tidak bisa mensinkronkan komunikasi non-verbal dengan komunikasi verbal, semakin seseorang kehilangan kepercayaan. Artinya semakin foto dengan gambar tidak sinkron, maka semakin suatu harian tersebut tidak dapat dipercaya. Sehingga dibutuhkan kejelian dalam menangkap gambar agar dapat mendukung tulisan yang disampaikan oleh reporter sekaligus menggambarkan secara lebih jelas suatu peristiwa. Yudi yang semula seorang fotografer biasa perlu berlatih berulang kali untuk bisa mendapatkan gambar yang diinginkan oleh redaksi. Terlebih lagi untuk harian terbesar di pulau dewata tersebut.
Tidak seperti profesi lainnya yang memiliki jam kerja tertentu, pewarta foto tidak memiliki jam tentu dalam bekerja. Karena peristiwa tidak dapat diduga. Mereka biasanya bekerja sama dengan kepolisian sehingga ketika terjadi suatu peristiwa secara tiba-tiba mereka dapat dengan cepat datang ke tempat kejadian perkara (TKP). Ada kekhawatiran tersendiri bagi Yudi ketika harus memberitakan peristiwa yang berkaitan dengan pemerintahan. Namun kekhawatiran tersebut justru membuatnya semakin berhati-hati dalam menyampaikan suatu peristiwa. Hal yang paling membuatnya kesal di dalam pekerjaannya adalah ketika ia telah menunggu berjam – jam lamanya untuk sebuah peliputa, namun tiba – tiba acaranya dibatalkan. Jika sudah begitu ia akan melampiaskannya dengan berburu berita yang masih ada hubungannya atau berburu berita yang sedang hangat – hangatnya terjadi. Ia juga sadar bahwa setiap pekerjaan pasti ada konsekuensinya masing-masing.
Ia pun mengaku sangat menikmati profesinya saat ini. Ia dapat bertemu dengan berbagai lapisan masyarakat dan budaya. Sehingga ia banyak belajar dari pengalaman orang-orang sukses. Dan yang paling ia banggakan dari profesinya adalah wawasan yang semakin luas dan bisa mengetahui informasi – informasi terbaru. Bahkan bisa jadi orang pertama yang mengetahui informasi terbaru tersebut. Bagi Yudi, seorang jurnalis harus mudah bergaul agar bisa menjadi jurnalis yang bisa diandalkan. Seorang jurnalis juga harus berani dan pantang menyerah. Karena jurnalis dituntut untuk berani dan tidak malu dalam menghadapi narasumber yang berasal dari berbagai kalangan dan status sosial. Sekalipun gagal atau ditolak, jurnalis tidak boleh menyerah dalam mengejar peristiwa. Namun seorang jurnalis harus tetap memperhatikan kode etik wartawan karena setiap narasumber berhak atas privasinya. Relasi yang luas juga penting dibangun sehingga lebih memudahkan jurnalis dalam mendapatkan peristiwa.
Terkait dengan isu Asian Free Trade Assigment (AFTA) 2015, Yudi tidak khawatir karena menurutnya tidak begitu berpengaruh bagi profesinya. Lagipula apa pun yang terjadi ia harus mencintai dan menekuni profesinya. Karena belum tentu orang luar lebih ahli dari pada kita. Bahkan ia berharap dengan adanya AFTA 2015 jurnalis bisa masuk pasar internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H