Kartel politik yang menjelma sebagai koalisi partai politik menjadi sebuah sistem yag melindungi dan mendukung penyalahgunaan kekuasaan oleh elit partai di pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga ataupun instansi yang memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengendalikan pemerintahan hanya menjadi sebuah simbol bagi terciptanya demokrasi yang sebenarnya hanyalah demokrasi semu.
Pola relasi antara bisnis dan politik menjadi titik awal munculnya politik kartel menjadi terbentuk karena adanya praktik dari partai politik kartel. Partai politik kartel terbentuk karena adanya karena adanya kepentingan individu dari masing-masing anggota partai politik kartel.
Politik kartel terbentuk karena adanya keterpaduan antara bisnis dan politik yang dapat membentuk suatu praktik-praktik rent seeking/rent seeker hingga monopoli perdagangan. Dimana pelaku bisnis berkecimpung di bidang politik, dan begitupun politik yang bersimbiosis mutualisme membutuhkan pendanaan yang besar.
Para pelaku politik kartel memahami betul jika setiap keputusan politik dan kebijakan publik dapat mempengaruhi kepentingan bisnis dan situasi kondisi ekonomi politik di Indonesia. Politik kartel membentuk suatu perkongsian yang ekstrim hingga dapat menimbulkan monopoli harga dan monopoli perdagangan di Indonesia dengan sistem koalisi.
Tidak jarang, dari praktik politik kartel sendiri membentuk suatu pola relasi antara bisnis dan politik yang rentan akan monopoli harga dan perdagangan juga rentan akan korupsi politik yang transaksional. Dalam praktek rent seeking dapat menimbulkan dampak oligarki juga pemerintah yang patrimonial, para pelaku bisnis tidak lain seperti bayangan dalam pemerintahan, yang memiliki pengaruh yang begitu besar, karena ada nya kondisi saling menguntungkan yang juga besar-besaran. Hingga pada praktek rent seeking yang menjalar begitu luas menyebabkan sistem pemerintahan yang bad governance.
Fenomena rent seeking pada saat ini , mungkin lebih kenal sebagai perantara atau para makelar proyek pengadaan pemerintah dalam bentuk barang atau jasa. Oknum pemerintahan pun terlibat dalam zona politik yang tak beretika. Tindakan yang dilakukan tidak jarang seperti commitment fee yang diterima oleh oknum penguasa oleh para pelaku usaha yang berperan sebagai makelar proyek atau rent seeker.
Motif terselubung para rent seeker dan rent seeking adalah dengan mendirikan perusahaan yang menyelendup masuk dalam pengadaan barang dan jasa, dengan harapan para oknum penguasa juga dapat memberikan ruang bagi mereka memperoleh pendanaan melalui APBN/APBD hingga dana lainnya yang berasal dari perekonomian negara. Melalui ketidakadaannya keterbukaan kontrak menjadi jalur permainan bagi ruang tikus untuk memuluskan praktek rent seeking dalam bisnis dan politik.[2]
Indonesia menjadi salah satu negeri terkorup di dunia, dan mencerminkan fenomena yang oleh Bank Dunia (dalam Tjokrowinoto, 2001:6) disebut bad governance dengan ciri-ciri: (1) Failure to make a clear separation between what is public and what is private, and hence a tendency to di vert public resources for private gain; (2) Failure to establish a predictable framework of law and government behaviour conducive to development, or arbitrariness in the application of rules and laws; (3) Excessive rules, regulation, licencing requirement and so forth which impede the finctioning of markets and encourage rent seeking; (4) Priorities inconsistent with development, resulting in misalocation of resources; (5) Excessisively narrowly based or non transparent decision making.
Indonesia telah mengalami bagaimana buruknya birokrasi hingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat dikarenakan oleh pola bisnis dan politik yang begitu kental dan menjadi hal biasa dalam keseharian para pelaku hingga menimbulkan benih pemikiran di zaman sekarang ini bahwasanya politik adalah suatu hal yang begitu keji dan kotor.
Pasca reformasi menjadi titik awal untuk membentuk suatu birokrasi yang lebih baik, ketika reformasi birokrasi saja tidak cukup untuk menuntaskan hal yang membudaya di Indonesia yaitu praktek rent seeking dengan sistem kolonialisme seperti upeti, yang sesungguhnya tidak ada bedanya dengan zaman sekarang seperti suap atau gratifikasi yang diberikan rent seeking kepada oknum penguasa, dan oknum penguasa menjadi tameng juga garda paling depan dalam memuluskan dahaga kerakusan para rent seeking.
Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menciptakan good governance melalui pencegahan hingga menuntaskan para rent seeking beserta dengan oknum penguasa. Good governance menjadi awal mula untuk membentuk suatu sistem pemerintah yang lebih baik. Penerapan sistem informatika di dalam birokrasi mempersempit ruang praktek rent seeker dan makelar proyek untuk memperoleh akses pada pendanaan, karena penelusuran melalui daring, dapat membuka pelaku usaha yang terlibat dalam monopoli perdagangan.