(meratap pelan,)
Tuhan... apakah kau bersembunyi pada saat hambamu ini menantikan uluran tanganmu, di mana kau, saat kami teraniaya, saat kami meratap, saat kami memohon keadilan-Mu untuk di tegakkan.
(berteriak putus asa, lalu hening)
Kadang dalam benak ini tergambarkan sosok sekor kasuari yang hidup dalam malu, di senyembunyikan wajahnya dalam lubang di tanah sambil menangis, lalu tengelamlah dan matilah dia dalam air matanya sendiri, dalam lubangnya sendiri. Sepertiku, seperti air mataku, seperti lubangku, seperti kematianku,
(tertawa sinis)
dan masih terpatri dalam benakku, kedua oarangtuaku, yang sebelum sempat aku menghaturkan baktiku telah pulang ke hadirat-nya, menamaiku Asih, untuk mengasihi anak-anak’ku dengan kasihku, mengasihi saudara-saudaraku dengan berbagi, mengasihi suamiku dengan pengabdianku, tapi tak kau lihatkah, bagaimana aku bisa mengasihi orang lain bila akulah yang tampak paling perlu di kasihani,
(menarik tali di lehernya)
tak terlihatkah oleh mu tali nasib yang memasung leherku pada kaki seorang Rahwana yang menyebut dirinya Pria. Pria yang menghisap sari-sari kehidupanku hingga aku terlalu kosong untuk bernapas,
(mengutuk)
oh tuhan, oh tuhan. tak kau lihatkah aku teraniaya, bukan oleh pukulan pada wajahku, bukan oleh tendangan di perutku, tapi oleh tatapan menghinanya, oleh kata-kata beracunnya, oleh perbuatan-perbuatan kejinya terhadapku.
(menutup mukanya sambil menangis)
Dalam peraduanku ada banyak wanita-wanita lainya, dan dengan entengnya dia tertawa, lalu berkata aku harus berbagi hanya karena rahimku tak bisa memberikan raja-raja kecil yang dia inginkan.
(tersenyum getir dengan pandangan kosong)
Dan apa yang bisa kuperbuat, saat mereka yang telah menghakimi aku dengan pandangan mereka, yang mengatakan kebodohan-kebodohanku, yang membeberkan kekurangan-kekuranganku, bahkan aib-aib ku hanya untuk mengurangi rasa bersalah mereka pada dirinya sendiri karena walaupun mereka tahu betapa teraniayanya aku, tak ada yang dapat mereka perbuat untuk mengurangi derita dalam rangkaian kehidupanku karena pria itu.
(berteriak)
Tak ada!
(melemah lalu menghilang)
Karena Pria itu adalah panutanku, pengabdianku, pelindungku, pemimpinku... Suamiku.
(kembali meratap dan menagis)
~Awal~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H