Saya adalah seorang mahasiswa yang berasal dari siswa. Dulu saya sempat memegang ranking beberapa kali ketika SD, tapi saya tidak masuk ke jurusan IPA di SMA. Teman-teman saya pun bertanya,
“Kok masuknya IPS? Kenapa gak masuk IPA?”
Banyak pertimbangan yang saya lakukan, di antaranya kefektifan materi itu sendiri. Saya melihat jurusan IPA itu menghitung hal-hal yang tidak perlu dihitung. Sebagai contoh, menghitung gaya apel yang jatuh dari pohon,
“Siapa coba yang mau bayar orang ngitung gaya apel jatuh” itu yang ada dalam pikiran saya.
Tapi IPA selalu ditinggikan dari IPS, IPS anak terbuang katanya. IPA anak pintar, IPS sebaliknya. Entah dari mana datang paradigma seperti itu yang saya sendiri sebenarnya tidak setuju. Memang dengan masuk IPA kita bisa masuk ke jurusan apa saja saat pemilihan jurusan kuliah tapi permasalahannya, kalau IPA bukan minat kita?
Sebagai anak IPS saya bangga. IPS itu ekonomi. Ekonomi itu tolak ukur utama kemajuan sebuah Negara. Percaya atau tidakpercaya itulah yang terjadi dari dulu sampai sekarang. Oleh karena itu, saya tidak menyesal dulu tidak masuk ke jurusan IPA.
Berangkat dari pengalaman ini, saya sering mengintip materi yang teman-teman saya , teman-teman saya yang masuk IPA. Pelajarannya seakan sangat sulit dimengerti dan sangat tinggi. Rumus yang menyakitkan mata yang menurut sudut pandang saya dari anak ekonomi itu tidak ada gunanya juga dihafal.
“Emang nanti pas kerja ditanya rumus pytagoras? Trigono? Nggak kan.” Otak saya menolak materi yang jelimet seperi itu.
Materi yang dipelajari di universitas apalagi, teman saya yang jurusan kimia, fisika atau yang terkait yang seperti itu, materinya lebih jelimet lagi. Saya makin bingung untuk apa itu dipelajari. Menambah pengetahuan? Oke. Tapi nanti di dunia kerja pengetahuannya terpakai nggak? Saya rasa tidak. Saya melihat banyak yang orang kerjanya tidak sesuai dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah. Mengapa bisa? Percuma dong kuliah kalau misalnya, kita jurusan fisika tapi ujung-ujungnya tidak berprofesi sebagai fisikawan.
Indonesia adalah Negara keempat dengan penduduk terbanyak di dunia. Indonesia punya potensi untuk menjadi Negara Maju. Tapi mengapa sampai sekarang Indonesia tidak mengalami kemajuan yang signifikan? Belajar dari China dan Jepang, muncul sebuah ide, yang mana apabila ide itu terlaksana mungkin Indonesia bisa jauh lebih pesat perkembangan ekonominya.
Mobil SMK, salah satu proyek anak bangsa yang sekarang kabarnya sudah hilang terbawa angin. Pemerintah seakan cuek ketika anak bangsa menemukan suatu teknologi baru. Ironi.
Seharusnya menteri membuka mata, presiden mematenkan, dan pemerintah setempat membuatkan pabrik untuk terus memproduksinya. Bayangkan kalau Indonesia tidak harus mengimpor mobil. Berapa biaya impor yang bisa dihemat dan berapa keuntungan yang masuk karena mobil buatan Indonesia sendiri yang dibeli oleh rakyatnya?
Apakah kaitan cerita saya tentang teman saya yang anak IPA dengan ide saya? Mungkin pembaca sedikit-sedikit mulai mengerti. Seandainya Indonesia punya suatu institusi tersendiri, terserah apa itu namanya, boleh jadi dinamakan Indonesia Development Technology atau apalah. Yang jelas fungsinya sebagai wadah menampung kreativitas teknologi yang nanti hasilnya buat dipasarkan. Pengurusnya terdiri dari berbagai dosen teknologi tingkat S1 maupun S2 di Indonesia. Disini siapapun bebas membuat suatu produk teknologi. Pemerintah harus menyediakan dana sendiri untuk pengembangan produknya. Jika telah jadi suatu produk, pemerintah wajib mempromosikannya ke dalam maupun luar negeri. Bayangkan AC produksi Indonesia, Speaker produksi Indonesia, mobil Indonesia, semua kita sendiri yang buat dengan standar Internasional.
Masak iya dari SMA sudah dicekokin rumus-rumus tapi rumus itu cuma sekedar tahu saja tanpa ada praktik terapannya? Masak iya anak-anak teknik sampai menjadi S1 tidak bisa menciptakan apa-apa?Saya percaya kalau ada kerja sama ide saya ini bisa saja terwujud. Sekarang permasalahannya mau atau tidak pemerintah bekerja sama dengan para ilmuwan. Bukan dengan saya. Saya apalah, hanya seorang pengamat. Kalau tidak, ya jangan salahkan ilmuwan kita diambil Negara lain. Dipakai Negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H