Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini Pencari Puntung Kayu Bakar

16 April 2022   14:08 Diperbarui: 16 April 2022   17:46 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kinjar adalah keranjang bambu yang dianyam, biasa mereka gunakan selain membawa puntung kayu bakar juga untuk memetik kopi yang memerah di kebun. Padahal berat kinjar yang dipanggul di punggung mereka ini cukup berat sekitar 10-20 kg. Kinjar yang sudah penuh puntung ini mengisi kalang-kalang (satu petak batasan yang mereka buat seharga Rp 25.000 Atau puntung mereka ikat dengan harga seikat kecil Rp 5.000 -- Rp 12.000. Satu kalang tersebut berhasil diisi oleh Novi 2 kali, padahal jumlah kayu satu kalang cukup banyak dan cukup berat.

Sedihnya lagi, belum tentu dalam sehari puntung-puntung satu kalang ini terjual. Menurut mereka biasanya sekitar hari Jumat, Sabtu dan Minggu baru ada yang membeli. Mereka yang membeli biasanya digunakan untuk hajatan. Paling banyak mereka membeli hanya 5-10 kalang pada akhir pekan tersebut. Itupun tidak setiap saat mereka mendapat pembeli yang memborong sebanyak itu. Kalang adalah batas ukuran mereka menyimpan kayu dan patokan harga selain kalang adalah sekebat (seikat)

Ada tradisi di Lahat yang saat ada hajatan atau sedekah, mereka selain membawa beras, ayam, hasil bumi, ada pula puntung kayu. Selain kemampuan membawa uang terkadang mereka juga membawa yang mereka miliki sebagai tambahan.Gotong-royong seperti ini masih terasa kental hingga kini di Bumi Seganti Setungguan.

Kegiatan ibu-ibu mengumpulkan ranting untuk puntung ini bukan pekerjaan mudah. Mereka harus berjalan pulang pergi sekitar 5 km  - 7 km memasuki hutan dan kebun. Berangkat usai mereka memasak dan membereskan rumah atau mengerjakan pekerjaan inti sehari-hari.

"Kami berangkat sekitar jam 10.00 atau jam 11.00 siang. Sekitar orang tiga atau orang lima, perjalanan ini jauh dan beramai-ramai supaya tidak takut," ujar Kartinah yang masih saudara Novi.

Sebelum mereka mencari puntung pekerjaan mereka dimulai sejak subuh usai melayani suami dan anak ke sekolah, bergegas mereka menjadi buruh cuci dan setrika di sekitar mereka tinggal. Barulah di rumah mereka berkumpul sambil membawa kinjar mencari puntung. Awalnya isian kinjar adalah Ibatan saja. 

Ibatan dalam istilah Lahat adalah bekal nasi dan lauk seadanya dengan bungkus daun pisang atau daun jati, tidak lupa di dalam kinjar ada botol air yang berasal dari botol kemasan bekas, Ada Kuduk atau senjata tajam yang dipakai untuk memotong ranting . Jadwal pulang mereka sekitar pukul empat sore  atau terdengar adzan ashar di jalan yang mereka lewati.

"Kami dak biso sembarangan ngembek puntung jadi jalannyo itu yang jauh masuk belukar, hutan dan sulit, tapi cak mano lagi kemampuan kami cuman sampe situ. Lumayan bantu suami yang kadang jadi buruh bangunan, kadang pulok jadi buruh kebun kopi ini," ungkap Kartinah.

Ibung-ibung ini tanpa banyak mengeluh menjalani rutinitasnya, tanpa libur ataupun cuti layaknya pekerja. Rapi mereka menyusun puntung dipinggir jalan yang bisa dengan mudah dilihat pembeli. Mengais rejeki ditengah kebutuhan pokok yang semakin melambung bagi mereka yang penting cukup untuk hidup sehari-hari sudah sangat menyenangkan.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun