Suara serangga hutan di desa kami semakin beranjak malam kian terasa, kopi tubruk robusta yang kusesap malam ini kubeli sepekan lalu. Yang kubeli bersama partner kerja sekaligus orang yang kukasihi, di Desa  Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.Â
Kesedihan yang kurasakan memilin hati melihat nasib para petani di sekitar kami, Lahat, Pagaralam, dan Muara Enim. Hampir 90 persen penduduk yang ada bermata pencaharian sebagai petani, baik petani buruh penggarap maupun petani pemilik. Bisa dibayangkan jika petani penggarap (buruh tani) hasil mereka akan diparuh lagi setelah dipotong modal.
Kejengkelan sempat terjadi adu argumentasi mengenai harga kopi. Harga kopi asalan masih di harga Rp 20.000/kg tapi beberapa tengkulak berani menawar hingga Rp 10.000-15.000/kg untuk kopi asalan petik pelangi, padahal mereka menjual ke beberapa pemasok di Kota Lahat, Prabumulih hingga Palembang mematok harga Rp 20.000/kg. Beberapa pemasok mengatakan bahwa mereka tetap membeli di harga Rp 19.000-20.000/kg. Bisa dibayangkan susahnya petani membeli kebutuhan jika kami para pengolah, roastery kopi membeli kopi di harga yang tidak pantas.
Apalagi yang bisa mereka nikmati saat menjalankan ibadah Ramadhan.
"Kita jangan membunuh petani dengan membeli produk mereka dengan harga murah. Kami tidak pernah tega melakukan hal itu," begitu obrolan bersama Abubakar Syukri pemilik usaha kopi Sendok Mas di Palembang.
Cara-cara menyedihkan seperti inilah yang diharapkan dimusnahkan karena tengkulak, pemodal memanfaatkan kondisi lemah petani sayur dan peternak memberikan harga seenaknya dengan alasan Pandemi Covid 19, sehingga harga sayuran dan peternakan anjlok, menahan sayur ke pasar-pasar dengan alasan lock down di tiap perbatasan.
Pengamatan penulis sendiri sepekan Ramadhan saat gejolak pasar ini, membuat petani maju mundur untuk panen. Harusnya pemerintah lokal dan tingkat kabupaten melihat gejala yang berkembang, supaya masalah ekonomi ini bisa diminimalisir. Untuk bantuan sembako jika mereka membeli beras, dan telur petani sudah pasti bisa membuat harga dua produk ini stabil.
Sebelum Pandemi Covid 19 ini melanda, harga bahan pokok fluktuatif dan bau gejolak naik turun sudah terasa. Hasil perkebunan karet sudah di angka Rp 5.000 untuk karet basah mingguan. Harga kopi masih tinggi sempat mencapai Rp 21.000-22.000 untuk kopi asalan.Â
Setelah masuk Pandemi Covid 19 hampir sebulan mulai lah porak poranda obrolan ibu-ibu pedagang.
Ada 3 pasar di Kota Lahat Pasar PTM Serelo, Pasar Lematang dan Pasar Senggol yang buka sore. Pada bulan pertama Corona melanda gejolak masih tertahan, harga cabe masih di atas Rp 30.000 perkilogram, bawang merah dan putih kisaran Rp 40.000-50.000, beras pun stabil di harga Rp 10.500-12.000, telur perbutir Rp 1.500-1.700 bahkan sebelum rumor pasien positif Covid 19 dan pasien dalam pengawasan (PDP) harga ayam potong sempat mencapai Rp 28.000/kg. Untuk sayuran sendiri perikat kangkung, bayam, katuk dan genjer berkisar Rp 1.000-5.000, wortel-kentang Rp 5.000-10.000.
Saat adanya larangan buka puasa bersama, berkumpul, tidak bisa mengadakan hajatan harga bahan pokok yang mulai naik saat akhir pekan. Rupanya hingga masuk puasa terjun bebas harga kebutuhan pokok dan sayuran. Hanya gula pasir saja yang masih tinggi Rp 12.500-18.000/kg.Â