Mohon tunggu...
Tama Tamba
Tama Tamba Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Imajinasi Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebab-Akibat Para Petarung Jalanan

22 September 2011   07:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Aksi kekerasan semakin sering terjadi, baru-baru ini tindakan kekerasan yang berbentuk tawuran dan aksi pengeroyokan dilakukan oleh kalangan siswa SMA. Aksi pengeroyokan terhadap para kaum jurnalis sebuah kelanjutan aksi yang sebelumnya terjadi,yakni tawuran antar pelajar dua buah SMA di Jakarta, didaerah Bulungan, Jakarta Selatan. Ketika terjadi tawuran beberapa orang wartawan menjadi korban kemarahan dari para siswa yang tidak terima aksi mereka diliput. Kejadian itulah yang memberi ruang untuk mengukir cerita baru selanjutnya. Perlakuan anarkis yang dirasakan oleh wartawan beberapa media nasional itu mengundang simpati dari rekan-rekan sesama jurnalis. Sebagai bentuk solidaritasnya, mereka menyambangi salah satu SMA di Jakarta, sebut sajalah SMAN 6 Jakarta.

Wartawan adalah profesi yang sangat memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Mereka dilindungi Undang-undang kebebasan pers dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun ketika kita melihat peristiwa yang beberapa waktu lalu terjadi, dan melibatkan siswa SMA sebagai pelakunya menandakan profesi wartawan yang kurang disegani lagi. Bayangkan saja, pelaku yang mengeroyok dan menyerang wartawan adalah siswa SMA umur belasan tahun. Anak SMA yang sedang memuaskan aktualisasi dirinya, ingin dipandang hebat oleh orang lain disekitarnya.

Berbagai versi pun berkembang ditengah masyarakat terkait kronologis dan penyebab terjadinya peristiwa tawuran dan pengeroyokan wartawan. Jadi sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa dan siapa yang menyebabkan tawuran hingga membawa korban fisik. Anak SMA jaman sekarang semakin menambah catatan buruk pelajar di perkotaan yang cenderung dekat dengan aksi anarkis. Padahal anak SMA perkotaan sudah lebih baik perlakuan yang diterima disekolah dibanding dengan yang ada di pinggiran/perdesaan. Apakah hal ini berkaitan dengan moralitas? Budi pekerti? Mungkin sedang terjadi degradasi moral di kalangan siswa jaman sekarang (sebut sajalah pelaku tindakan kekerasan tersebut).

Dimana peran pihak guru ketika insiden kekerasan tengah berlangsung? Apakah peran guru hanya sebatas dalam ruang kelas saja? Bahkan dibeberapa media beredar kabar ada seorang guru yang ikut memprovokasi siswa hingga mereka semakin termotivasi untuk ‘menghajar’ para wartawan. Sepertinya kebencian mereka (para pelaku) kepada wartawan sangat memuncak sekali, hingga akhirnya mereka dengan gampangnya terprovokasi dan terkoordinir untuk melakukan tindakan anarkis massal.

Penulis disini sedang bertahan dalam posisi bebas nilai, dan penulis disini pun ingin mengkritisi sikap dari para awak media yang menyambangi sekolah SMA 6 Jakarta. Dengan modal solidaritas sesama wartawan mungkin bagi kebanyakan masyarakat awam akan memaklumi sikap mereka tersebut. Tapi sikap mereka tersebut sebagai contoh peristiwa sebab-akibat. Artinya kedatangan mereka yang mungkin beberapa aksinya tidak dapat diterima oleh pihak sekolah (siswa dan guru), dan menyulut emosi dari anak-anak SMA yang saat ini berada pada masa kelabilan (emosi). Berbeda dengan para wartawan, justru mereka sudah lebih matang secara fisik dan secara emosional dibanding para siswa SMA tersebut. logikanya anak SMA tersebut tidak mungkin akan berlaku seperti itu apabila tidak ada yang menyebabkannya. Sepertinya ada indikasi bahwa siswa SMA tersulut emosi karena sikap dari para wartawan. Ketika di masyarakat banyak yang mengatakan di SMA tersebut ada anak pejabat pemerintahan ataupun anak pejabat polisi, sehingga itulah yang mendorong mereka semakin berani untuk memperlakukan orang lain seenaknya. Penulis sendiri tidak begitu yakin dan tidak sepaham dengan pendapat yang beredar di masyarakat ataupun di media. Penulis lebih sepakat dengan pendapat bahwa disini ada hubungan sebab-akibat. Dimana kedatangan para wartawan saja sudah tidak mengenakkan bagi pihak siswa dan sekolahnya, ditambah lagi dengan aksi dan ekspresi solidaritas mereka yang semakin mengundang emosi para siswa SMA.

Dan nanti ketika pihak yang berwenang dalam pengusutan kasus telah menguraikan hasil penyelidikannya ke publik, disini nanti kita akan melihat kronologis sebenarnya, motif dan penyebab insiden tersebut. Dalam pertanggung jawaban pelaku nantinya, keluarga dimungkinkan akan ikut terlibat untuk mempertanggung jawabkannya. Dan dari pihak sekolah, harusnya kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan di sekolah itu harus ikut bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dia juga harus siap nantinya untuk melepaskan jabatannya, apabila terbukti anak didiknya yang bersalah.

Pihak sekolah tidak pernah alpa dalam menyumbangkan peran sertanya untuk menambah catatan buruk dunia pendidikan negeri ini. Masalah biaya sekolah yang tinggi, indikasi korupsi di sekolah, kekerasan guru terhadap siswa, kekerasan antar sesama siswa, dan baru-baru ini kekerasan siswa vs wartawan. Beberapa sekolah penyumbang masalah harus lebih diperhatikan oleh pihak yang berwenang menanganinya. Sediakan sangsi untuk guru dan kepala sekolah yang “memble” dalam tugasnya. Bila ada pepatah lama yang mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mungkin ada pepatah lain (sindiran) yang maknanya hampir serupa, guru kencing berdiri, murid kencing bareng!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun