Selama tiga bulan ini, bahkan dari Wuhan, China sedang ramai diberitakan wabah Covid19 ini, saya sudah banyak membaca berita, kemudian terpikir akan skenario untuk menghentikan Pandemi Covid19 ini secara sosiologis. Sebelumnya saya pernah menulis dengan judul Kajian Sosiologi: Sulitnya Melawan Virus Corona (socioeducation.blogspot.com) setelah saya melakukan pengamatan komunitas, mempelajari secara sosio histori dan ilmu ilmu sosial. Bahwa, covid19 merebak karena sosiologis yaitu globalisasi media, konflik sosial antara AS dan China, dan norma sosial warga kita.
Pandemi masuk ke Indonesia saya mulai dari 2 Maret 2020 ketika pasien o1 diumumkan hingga sekarang masuk tanggal 2 Juni 2020 berarti sudah tiga bulan berjalan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ini akan selesai atau bersih dari Indonesia. Walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menghentikan ini, dari social distancing, PSBB, dan New Normal nantinya, virus flu ini tidak akan bersih. Apakah pemerintah sia-sia? pemerintah sudah melakukan tugasnya sebagai pelindung warga negara, itu yang membuat warga merasa eksistensi pemerintah dalam pandemi ini.
Kita throwback, Desember sampai perayaan Imlek Januari 2020 berita tentang novelcorona virus (nCov) di Wuhan, China mulai ramai, tapi di Jakarta sedang marak berita banjir di malah tahun baru, berita yang tersebar seputar banjir itulah. Kemudian saat perayaan imlek media nasional dan internasional memberitakan akan maraknya penyebaran virus corona di seluruh Wuhan, China. Isunya berasal dari pasar hewan, seperti kelelawar.Â
Tapi itu isu, karena tidak pernah ada bukti bahwa itu memang berasal dari kelelawar. Di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sedang asyik merayakan imlek, mall juga merayakan dengan budaya Barongsai, dan perayaan-perayaan lain. Saat ini warga masih tenang, walapun berita tentang nCov makin ramai.
Kajian globalisasi, penyebaran berita informasi tentang wabah nCov di Wuhan, China mempercepat penularan psikologis dan sosiologis buat negara lain, pasalnya orang jadi parno akan nCov ini. Ditambah lagi arus transportasi yang masih di buka di berbagai negara, globalisasi adalah tidak adanya batas negara yang menutup informasi dan transportasi sehingga warga secara fisik dan nonfisik terhubung.Â
Secara informasi nCov menyebar ke berbagai negara hingga ke Indonesia. Sedangkan secara transportasi menginfeksi secara fisik penyebaran virus ini ke berbagai negara, seperti Italia, Jepang, Korea Selatan, dll. Kemudian WHO turun tangan untuk membuat porsedur penanganan ini akhirnya dikategorikan Pandemi dan namanya menjadi Covid-19.
Kajian konflik sosial, pelaku konflik disini adalah Amerika Serikat dengan China, apa hubungan konflik dua negara tersebut? saya tidak mengatakan bahwa Covid19 sebagai alat perang, karena saya bukan intelejen, tapi saya mengatakan dengan jelas bahwa propaganda Covid19 ini disengaja dibuat-buat.Â
Contohnya begini, ketika ada dua tetangga berantem, kemudian salah satunya sakit-sakitan, contoh sakit yang ditakuti dan menular adalah TBC, kemudian sama tetangganya berita tadi dibesarkan dan dibuat-buat, agar seluruh warga merasa takut untuk berinteraksi dengan orang TBC tadi.Â
Media sosial adalah alat perang di era globalisasi. Berita tentang Wuhan, China berhasil dibuat besar, seolah-olah penyakitnya parah dan tidak bisa disembuhkan sama sekali, kemudian berita menginformasikan jumlah orang meninggal. Di sinilah mulai ketakutan warga, ditambah lagi dengan berita tidak adanya vaksin.Â
Kemudian diviralkan di media sosial facebook cs, instagram, WA, dll kalau pasien covid19 terlantar di Wuhan, Wuhan di lockdown, Wuhan menjadi kota mati, berita itulah terus terusan sebagai efek penularan psikologis dan sosiologis. Apa manfaat dari konflik sosial ini, tentu ekonomi China lumpuh, siapa yang diuntungkan Amerika Serikat memanfaatkan momen Covid19 ini sebagai alat perang dagang mereka.Â
Masuklah ke Indonesia, awal Maret 2020, waktu itu warga Indonesia masih nyaman, mereka tahu tentang Covid19, saya juga penasaran seluas negara ini kenapa belum ada yang positif, padahal pintu masuk Indonesia begitu banyak, sampai Bali dan NTB menjadi wisata alternatif selain ke China. WHO malah mau turun langsung ke Indonesia merasa aneh kenapa belum ada yang positif, WHO meragukan alat pendeteksi di pintu-pintu masuk Indonesia.