Mohon tunggu...
Rami Musrady Zaini
Rami Musrady Zaini Mohon Tunggu... PNS -

Terkadang meluapkan gagasan ke dalam bait-bait kata terasa sulit, untuk tak dibilang sebagai penulis. Biarlah ku dinilai sedang iseng dalam menyusun sebuah gagasan. Dan inilah saya, yang tak pernah bijak dengan hari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Laut Kita

19 Maret 2016   16:26 Diperbarui: 19 Maret 2016   16:32 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: Gramedia.Com"][/caption]

Cerita laut selalu berselaras dalam penguatan tokohnya dalam balutan kultur yang semakin membuat eksotik plot ceritanya. Tenang atau bergelombang itulah jiwa laut yang sering melekat dalam tokoh utama setiap novel yang muncul dari aras lokal. Tenang, menggambarkan betapa damai dan kalemnya sebuah peradaban sebuah daerah -bermula, sedang gelombang menggambarkan watak keras dan keseriusan hidup berbalut perih dalam sebuah peradaban. Mungkin saja sejarah laut telah membenarkan pepatah ‘pelaut Ulung tidak lahir dari laut-laut yang tenang.’ 

Di Eropa cerita tentang laut kita temukan pada kisah Viking sang bajak laut, di Asia dan Afrika kita temukan kisah Simbad si pelaut dengan cerita negeri seribu satu malamnya. Viking (Skandinavia) dan Sinbad (Arab) adalah sebuah replika laut yang mewakili peradabannya. 

Di Indonesia, tariklah sampel dari kisah ‘Borno’ dalam Novel ‘Angpao Merah’ Tere Liye. Betapa kisah Borno sama panjangnya dengan aliran sungai Borneo yang menuju laut. Sungai yang begitu tenang, membuat ceritanya menjadi tenang menghanyutkan mesti sesekali mesti meneteskan air mata. 

Dalam konteks lokal kita, Sulawesi Tenggara. Cerita laut kita temukan juga dalam ‘Di bawah bayang-bayang Ode’ Karya Sumiman Udu. Lattar laut wakatobi menghiasi kisah ‘Imam’ dan ‘Amaliah Ode’ dalam novel itu. Kerasnya laut Banda dan tingginya gelombang ombak Wakatobi membuat Novel tersebut dipenuhi oleh plot konflik dan pertentangan kelas yang gelombangnya tidak kalah kerasnya. Untung saja novel itu dibalut romantisme cinta. Setidaknya ada jedah untuk berlabuh dari kerasnya konflik kelas dalam Novel itu.

Lain lagi dengan novelis kita ‘Arsyad Salam’. Kisah Awing dalam ‘Kidung dari Negeri Apung’ mengambil setting masyarakat Bajo di Lapulu Kendari. Kita sudah dapat meramalkannya bukan? Apalagi ada Pulau Bokori disana, salah satu destinasi wisata bahari di Kendari, Sulawesi Tenggara. 

Penasaran dengan Awing dalam novel itu, Kunjungi Gramedia. Temukan novelnya dalam jejeran rak-rak Tere Liye dan Andrea Hirata, beli dan bacalah, tak lupa ceritakanlah kepada sahabat bagaimana kisahnya...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun