Kejadian ini terjadi sekitar 2000 tahun yang lalu, ketika orang mengaku Tuhan dan memberikan teladan bagaimana harus hidup, bagaimana harus berbagi, serta bagaimana harus mengampuni seorang akan yang lain sebagai tanda cinta tertinggi.
Bahkan sampai pada titik bahwa pengorbanan darahnya adalah sebuah monumen tentang pengampunan.
Ketika kehadiranNya cuma simbol bahwa ruang, sekat dan altar penyembahan sudah tidak dibutuhkan lagi. Karena welas asih, kehadiran, lawatan serta interaksi yang penuh cinta dan penghargaan adalah lebih bermakna dibanding aneka rapal dan jubah tebal panjang pemimpi agama.
Sangat ironis memang, ketika ajaran hakiki itu mulai menyebar, ahli kitab dan pemimpin agama menjadi gelisah dan murka karena terancam legitemasinya.
Sehingga bersekongkol dengan pemimpin dunia untuk menyingkirkannya, lalu pembunuhan suci dilakukan untuk mempertahankan setan dalam bilik bilik tempat penyembahan.
Teringatlah akan kalimat "terbelahnya tirai Bait Tuhan, yang mengisolasi ruang maha suci". Bersamaan dengan orang tidak bersalah itu mati.
Mengertikah kita ketika tirai itu terbelah adalah simbol tertinggi dari Manunggaling kawula Gusti?. Serta menandakan bahwa dunia ini adalah Bait yang suci.
Bahwa kita semua adalah bait bait suci.
Sekali lagi sejarah selalu berulang, manusia menjahit lagi tirai itu, supaya pemimpin agama mengambil keuntungan dan mengunci Tuhan dalam sekat yang terkunci dari luar.
Tuhan cuma jompo tua yang kita kunjungi setiap kita memerlukan, sembari melempar koin emas untuk memuaskan hati kita, seraya bersenandung, "sampai jumpa minggu depan".
"Krincing" ... Sementara si pendusta sedang memungutinya untuk memuaskan perutnya.