“Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita”
Mati anak ada kuburnya, mati adat kemana dicari - Sultan Iskandar Muda
Budaya merupakan aset yang tak terhingga nilainya, aset yang diturunkan oleh nenek moyang dan terus menerus menjadi identitas bangsa. Begitu pula yang terjadi pada daerah Aceh, sebuah provinsi paling barat Indonesia yang telah memiliki banyak fasa pasang surut kehidupan. Perang melawan penjajah masa Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, konflik berkepanjangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga musibah bencana tsunami pada akhir tahun 2004 lalu.
Dengan bertemakan Bungong Jeumpa yang bermakna semangat dalam mekar maupun layu dan akan terus harum mewangi perhelatan Gelar Budaya Aceh (GBA) 2012 diselenggarakan oleh Unit Kebudayaan Aceh- Institut Teknologi Bandung (UKA ITB). Perhelatan ini berfokus pada penawar semangat yang telah ada di dalam setiap jiwa untuk kembali bergerak lebih untuk Aceh. UKA ITB sendiri berdiri pada tahun 1989 dan telah menjadi ikon budaya Aceh di kota Kembang Bandung. Unit mahasiswa ini tidak hanya diikuti oleh orang yang berasal dari negeri rencong Aceh namun banyak juga oleh berbagai kota di luar Aceh seperti Jakarta dan Bandung.
Dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu Pre-event Pelatihan Tari Saman Massal yang diikuti oleh lebih dari 200 peserta yang telah mengikuti pelatihan selama sebulan, Pameran Budaya bertajuk “Waroeng Aceh” yang mempersembahkan masakan khas dan budaya Aceh, dan puncak acara yaitu Pagelaran Drama Tari Cut Nyak Dhien yang diselenggarakan di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB. Ketiga acara ini telah merubah kampus Ganesha selama dua hari (2-3 Maret 2012) menjadi bagaikan di Nanggroe Aceh Darrusallam.
Menghidupkan Cut Nyak Dhien di pasca kemerdekaan
Pada Sabtu, 3 Maret 2012 Sabuga terasa penuh oleh 1000 penonton yang dengan sangat antusias ingin menyaksikan Cut Nyak Dhien lebih dekat. Drama Cut Nyak Dhien menceritakan tentang kepahlawanan Cut Nyak Dhien dalam membela ranah Aceh dari kompeni Belanda sampai beliau dikhianati sahabatnya dan meninggal saat diasingkan di Sumedang (1908). disajikan dengan selingan tari-tarian seperti Rapa’i Geleng, Ranup Lampuan, dan Tari Beudoh yang tak lupa menceritakan filosofis tarian tersebut. Dalam puncak acara tersebut tidak lupa ditampilkan tarian Saman Gayo dari Sanggar Tangan Seribu yang merupakan salah satu warisan budaya yang telah diakui UNESCO sebagai World Incatangible Culture (Warisan budaya nonkebendaaan). Rafly, penyanyi sekaliber Java Jazz juga turut menyumbangkan lagu-lagu yang berasal dari Aceh sehingga Sabuga begitu tersuasanakan oleh budaya Aceh.
Dalam penyajian GBA 2012 ini UKA ITB konsisten dalam menjaga tujuannya memperkenalkan budaya Aceh ke Nusantara terbukti tak satu pun pernak-pernik yang disajikan yang bukan dari Aceh. Bahkan snack, makanan, minuman, souvenir, drama, lagu, semua diambil dari Serambi Mekah ini.
Meneruskan budaya adalah kewajiban manusia berbudaya.
“Semangat itu tak kan pernah padam, semangat itu ada pada dirimu - Cut Nyak Dhien
Pelaminan Aceh dan Pengantin Aceh dalam Pameran Budaya bertajuk “Waroeng Kopi”
Makanan Khas Aceh yang berada di Pameran Budaya bertajuk “Waroeng Kopi”
Jajajan khas Aceh yang mungkin tidak ditemui di Jawa
Walaupun hujan 200 peserta tari yang telah dilatih selama sebulan tetap semangat mempraktekan apa yang telah mereka pelajari , tari Ratoh Duek
[caption id="attachment_165904" align="aligncenter" width="300" caption="Sepasang pengantin Aceh berdiri di depan sebuah rumah khas Aceh"][/caption] [caption id="attachment_165905" align="aligncenter" width="300" caption="Jajanan Khas aceh dalam Pameran Aceh"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H