Mohon tunggu...
danang pamungkas
danang pamungkas Mohon Tunggu... -

mahasiswa pend.sosiologi uny

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota Yogyakarta Menuju Era Kapitalisme Modern

2 Juni 2014   08:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pergeseran paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk menentukan kebijakan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pembangunan didesentralisasikan mengacu pada beragamnya keinginan dan harapan masyarakat, yang kadang-kadang program pemerintah pusat tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat daerah. Untuk memaksimalkan pembangunan agar dapat menyentuh kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerah, maka pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang otonomi daerah. Dari segi kemasyarakatan tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan pemberdayaan (empowerment) masyarakat sehingga masyarakat makin mandiri (selfsustain) dan tidak terlalu bergantung kepada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan (Koswara, 2001: 93-94). Persoalannya adalah apakah program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, sudah sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat di daerah? Dan apakah program pemerintah daerah telah menciptakan keadilan bagi semua penduduk yang tinggal di perkotaan? Bisa jadi program yang dilaksanakan hanya bermanfaat bagi segelintir orang, yang memanfaatkan kekurangan SDM di daerah tersebut.

Kemajuan di bidang ekonomi di dalam masyrakat kota selalu di identikkan dengan perubahan dalam pola konsumsi dan gaya hidup yang sangat berlebihan dan bermewah-mewahanan. Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.

Seperti halnya dengan perkembangan kota di dunia bahwa kapitalisme menjadi Pendorong suatu kota untuk berkembang dan maju dengan pesat. Modal besar dan investor Asing akan masuk dengan mudah karena ada kesempatan untuk membuka pasar baru yang Lebih besar dan akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tempat baru itu. Di kota Besar kemajuan ekonomi perkotaan selalu di dukung dengan pusat-pusat perbelanjaan,mall, Hotel, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kapitalisme akan tumbuh subur ketika Daerah membebaskan pemilik modal dari manapun untuk menanamkan investasinya di daerah Tersebut, yang terjadi adalah masyarakat yang menengah ke bawah akan mendapatkan imbasnya karena suatu pembangunan besar di suatu kota pastilah ada penggusuran besar-besaran dan akan menghambat kehidupan perekonomian masyrakat menengah ke bawah. Masyarakat menengah-ke bawah akan menjadi budak para pemilik modal karena mereka Halnya sebagai pekerja kelas bawah dan hanya di beri gaji yang minim dalam pekerjaannya ,yang di untungkan dalam hal ini hanyalah orang-orang yang punya kepentingan dan jabatan tinggi di pemerintahan daerah, seperti DPRD, Kepala daerah, walikota, bupati, gubernur, dan para birokrasi pemerintah.

Pembangunan perekonomian di kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta terkenal dengan kota budaya dan seni dan juga sebagai kota pendidikan yang terkenal dari tingkat nasional sampai internasional. Dengan membuminya Nama Yogyakarta maka banyak turis dari turis lokal dan turis mancanegara membanjiri kota Yogyakarta apabila ada hari libur nasional atupun libur panjang, dengan banyaknya pengunjung tiap tahun di kota Yogyakarta maka pembangunan kota pun sangat gencar seperti pembangunan Mall, Hotel, tempat Shooping, dan infrastruktur kota sehingga Yogyakarta yang awalnya kota budaya menjadi kota komoditas yang sangat menjanjikan bagi pemilik modal untuk menanamkan modalnya di Yogyakarta. Hal ini akan sangat menguntungkan kaum borjuis dan pemilik modal besar yang akan mencari keuntungan sebesar mungkin dari kekayaan budaya dan seni yang di miliki oleh Yogyakarta.

Kapitalisme, sebagaimana yang dirumuskan Werner Sombart dan diperkuat Wallerstein, adalah sistem ekonomi yang dikuasai dan diwarnai peranan modal, yang di dalam pandangan ekonominya didominasi oleh tiga gagasan, yaitu: usaha untuk memperoleh dan memiliki, persaingan, dan rasionalitas (nilai efisiensi kerja). Dalam sistem ini akumulasi modal (keuntungan) yang tanpa akhir telah menjadi tujuan dan menguasai hukum ekonomi. Dari sinilah, sistem ini mensyaratkan faktor individualisme yang menuntut kebebasan yang leluasa dan dengan free fight competition-nya menempatkan negara hanya sebagai “penjaga malam” saja (dilarang ikut campur) (Azhar, 1996; Rahardjo, 1991). Mengingat individualisme begitu inhern dalam sistem ekonomi ini, maka dalam prakteknya menimbulkan eksploitasi masyarakat oleh sekelompok kecil. Sehingga faktor sosial dikesampingkan. Manusia menjadi tercabut dari akar sosialnya.

Perubahan haluan perekonomian kota Yogyakarta dari ekonomi kerakyatan tradisional berubah ekonomi kapitalis membuat masyarakat bawah terkena imbas yang luar biasa mereka menjadi pekerja rendahan dengan gaji yang sangat minim sehingga untuk menghidupi diri sendiri saja sangat sulit apalagi untuk menghidupi keluarga. Masyarakat bawah tertindas dengan pola kapitalis yang ada sekarang pusat perbelanjaan, mall, supermarket, dan hotel terbangun dengan megah mereka kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan mereka karena pembangunann tersebut. yang di untungkan hanyalah pemilik modal dan juga pejabat tinggi di daerah yang saling berkompromi untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari pembangunan ekonomi kota. Pemerintah daerah seolah lupa jati diri masyarakat Yogyakarta mereka tergiur oleh uang yang besar dari para kapital-kapital yang ingin menanamkan modalnya di sini. Dengan dalih mengurangi jumlah kemiskinan dan membuka lapangan pekerjaan baru dari pembangunan ekonomi di Yogyakarta, masyarakatmiskin menjadi semakin miskin, kota menjadi lahan kapitalisme pemilik modal, dan rumah-rumah warga tergusur untuk membangun hotel dan pusat perbelanjaan, sehingga kehidupan mereka semakin susah sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja dengan para kapitalis dengan upah yang sangat rendah jauh dari UMR yang ada. Rata-rata gaji para karyawan di Yogyakrta hanyalah 900.000 ke bawah. Itu sangat rendah apabiola di bandingkan kota-kota besar lainnya di nusantara.

Apabila ingin membangun kota tanpa sistem kapitalis seharusnya masyarakatharus dilibatkan banyak dalam pembangunan pariwisata di Yogyakarta. Seperti apabila ada turis yang butuh penginapan atau temapat istirahat pemerintah menunjuk rumah-rumah penduduk atau rumah-rumah kuno yang itu akan malah bisa di nikmati oleh masyrakat Yogyakarta. Meminimalisasi pembangunan hotel-hotel dan perbelanjaan mall itu secara tidak langsung akan menggusur para masyrakat bawah dan menghiolangkan mata pencaharian mereka. Hanya golongan elit saja yang akan merasakan dampak pembangunan itu sendiri. Sebuah kontradiksi ketika kota yang berbasisi kebudayaan berubah menjadi kota berbasis ekonomi kapitalis, ketika pemerintah daerah malah ikut dalaam menindas kaum kelas bawah siapa lagi yang akan membantu mereka untuk keluar dari jalur kemiskinan?

Ketika pemilik modal dan pemerintah bersatu maka masyrakat bawah akan di rugikan dengan kebijakan dan pembangunan yang di buat oleh mereka. Pemerintah daerah hanyalah boneka para kapitalis yang ingin mencari keuntungan sebesar mungkin di daerah dan masyrakat bawah pada akhirnya hanya sebagai budak dan pekerja rendahan yang di beri upah minimum yang tidak sebanding dengan pekerjaan mereka. Pembangunan kota dengan jalan kapitalisme selalu akan menghancurkan perekonomian kelas bawah sudah seharusmya perekonomian berbasis kemasyarakatan dan juga kesetaraan harus di galakkan karena kalau kapitalis meraja lela rakyat kecil yang menjadi korbannya sementara pemerintah daerah akan memiliki keuntungan yang berlipat ganda dari pengurusan perizinan dan juga penandatanganan proyek dan masayrakat bawah akan senantiasa tertindas dengan system kapitalis yang hanya memeras tenaga mereka dengan tidak manusiawi. Kesetaraan ekonomi dan juga pembangunan kota yang melibatkan masyarakat itu akan jauh lebih baik dan bisa di rasakan semua kalangan masyarakat terutama kelas bawah akan mendaptkan penghidupan lebih baik, dan walaupun masih ada kesenjangan akan tetapi kesenjangan kelas itu tak akan separah dengan sistem kapitalis di zaman sekarang.

Data-Data pertumbuhan pembangunan dan ekonomi di Yogyakarta

Tabel 1 Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Status Peruntukan Lahan

Tahun 2007-2010 Kota Yogyakarta

Tahun

Jenis penggunaan lahan ( Ha)

perumahan

Jasa

Perusahaan

Industri

Pertanian

Non produktif

Lain-lain

jml

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun