Pada dasarnya, belajar adalah rasa “ingin tahu”. Proses penyadaran manusia dari yang “tidak tahu menjadi tahu” adalah proses yang bisa mudah sekaligus memiliki tingkat kesulitan tinggi. Dalam konteks itulah diperlukan adanya pelaku pendidikan yang tidak terjebak oleh kepentingan ego individual atau kelompok tanpa memperhatikan kepentingan peserta didik itu sendiri (child centered education atau child friendly school) maupun kepentingan publik. Model friendly schooll inilah yang dilakukan bayi ketika dia memukul-mukulkan bonekanya. Ketika bayi berumur satu tahun, ia mulai belajar berjalan. Walaupun berkali-kali jatuh-bangun dan jungkir-balik, namun ia tidak pernah merasa gagal, dan akhirnya dia mampu berjalan bahkan berlari cepat. Kemudian, si anak masuk di tingkat dasar. Lebih lanjut, kita sadar bahwa dunia saat ini menjelma menjadi - menurut Marshal McLuhan - suatu kampung besar (big village), akibat kemajuan teknologi dan komunikasi informasi. Karenanya, telah terjadi interaksi antar manusia secara cepat dan tepat. Ia telah mengubah tata kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya, serta dengan pasti mempengaruhi proses pendidikan.
Pada abad ke 21 ini negara-negara diseluruh dunia digegerkan dengan munculnya Coronavirus disease 2019 yang lebih dikenal dengan nama COVID-19. Virus ini adalah virus jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini menyerang sistem pernapasan. Covid-19 bisa menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian. Indonesia sudah lebih dari 3 bulan tengah menghadapi hari-hari melawan covid-19, bahkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN-RB) telah mengeluarkan surat edaran baru yang pada intinya menyatakan masa bekerja dari rumah (Work From Home) dan penyesuaian sistem kerja.
Hal tersebut ditekankan oleh Menteri PAN-RB pada saat mengumumkan adanya surat edaran yang menyatakan perlunya penyesuaian sistem kerja dan mengimplementasikan protokol pencegahan Covid-19. Hal tersebut juga berlaku bagi pendidikan. Dengan dihapuskannya Ujian Nasional, belajar di rumah melalui aplikasi tertentu (daring), mulai dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pelaksanaan pembelajaran, bimbingan dan seminar daring merupakan model pembelajaran yang dapat dilakukan ditengah pandemi ini. Namun metode ini masih menyisakan problem rumah bagi siswa dan orang tua yang belum melek dan tidak mempunyai teknologi yang memadahi. Bagaimana tidak, siswa tingkat Sekolah dasar, Mahasiswa, dan Pengajar dituntut untuk memahami setidaknya penggunaan teknologi digital. Di sisi lain peserta didik juga dipaksa untuk mengeksplor teknologi dan informasi dan menyalurkan kreatifitasnya melalui inovasi-inovasi dalam tugas-tugas yang diberikan melalui teknologi yang sebelumnya tidak pernah dipakai. Hal itulah yang menyebabkan pendidikan setengah hati di masa pandemi Covid-19.
Kita sependapat bahwa pendidikan adalah upaya membimbing peserta didik dalam usahanya mencapai kedewasaan; dan - meminjam istilah KH. Dewantara - mendidik adalah menuntun segala potensi kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya penggalian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), pengayaan nilai (transfer of value), pengetahuan tentang karakter kebudayaan (transfer of culture), dan penanaman nilai keagamaan (transfer of religius) yang diarahkan pada upaya untuk “memanusiakan manusia”. Upaya seperti itulah hakikat pendidikan, yaitu berorientasi untuk mengubah perilaku individu agar memiliki nilai-nilai luhur, cerdas dan terampil. Tapi kalau materi sekedar disampaikan melalui teks chat, voice note, pesan vidio, dan vidio call seberapa % materi tersebut masuk dalam fikiran dan difahami oleh para siswa.
Pendidikan mempunyai standing position yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, mengingat salah satu tujuan didirikannya Republik ini tak lain adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tentunya, tujuan itu segaris dengan tujuan pendidikan dalam artian yang holistik. Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” bukan hanya berkaitan dengan cerdas ilmu pengetahuan, cerdas di sekolah, melainkan juga cerdas dalam interaksi sosial, cerdas emosional, dan cerdas secara spiritual maupun moral. Pada posisi inilah, UUD 1945 secara khusus memuat mandat tentang pendidikan, utamanya yang termaktub pada Pasal 31 Ayat 1 sampai 3 yang secara tegas disebutkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang.
Ketiga ayat tersebut mendedahkan hak, kewajiban, tugas dan tanggungjawab antara warga negara (civil society) dan negara (state). Dalam tafsir konstitusionalnya, proporsi hak dan kewajiban warga negara untuk mendapatkan pendidikan seharusnya seimbang dengan kewenangan negara yang bertanggungjawab sebagai fasilitator, bukan diktator. Sementara pada Pasal 31 ayat ayat (4), dimana negara memprioritaskan anggaran 20% dari APBN untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional, merupakan representasi kewajiban negara sebagai penyelenggara dan penjamin efektifitas proses pendidikan bagi warga negara. Amanat melaksanakan pendidikan tersebut merupakan representasi dari mandat “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Lebih lanjut, apa yang sudah negara lakukan untuk Pendidikan siswa, mahasiwa Indonesia, sejauh mana tujuan pendidikan nasional tersebut diaplikasikan secara konsisten dalam realitas pendidikan nasional di era pandemic Covid-19? Apakah tujuan pendidikan nasional tersebut telah menjiwai serangkaian kebijakan pendidikan secara luas? dan sudahkah tujuan-tujuan pendidikan nasional itu tercapai? Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mengingat kualitas pendidikan nasional beserta berbagai kebijakan yang melingkupinya masih jauh dari harapan masyarakat. Problem terkait pendidikan di masyarakat terus berkembang, mulai dari problem metode pembelajaran yang ramah untuk anak, tingkat uang kuliah tunggal (UKT) Mahasiwa perguruan tinggi yang memberatkan masyarakat. Semua kebijakan masih ditunggu oleh masyarakat, khususnya pada masa Pandemi Covid-19 ini. Mendapatkan pendidikan adalah hak asasi seluruh warga bangsa. Hak itu telah sepenuhnya dijamin oleh konstitusi. Sementara negara mempunyai tanggungjawab sebagai penyelenggara dan pengelolanya. Berhasil tidaknya sebuah proses pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyelenggara, sejauhmana ia mengelola dan memfasilitasi keberhasilan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang seirama dengan hak-hak warga negara. Dalam konteks nation state, - sekali lagi - hak-hak citizenship tersebut dijamin oleh konstitusi.
M. Hamdan Yuwafik, S.Sos (E-mail: afikhamdan@gmail.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H