Mohon tunggu...
Sosial Action
Sosial Action Mohon Tunggu... Guru - M. Hamdan Yuwafik, M.Sos

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya // Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Allah SWT yang sedang berjalan dalam kesenyapan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa Vs Negara (Prespektif Globalisasi dan Multikulturalisme)

8 Juni 2020   22:52 Diperbarui: 9 Juni 2020   06:36 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi shutterstock tambahan olah pribadi

Nasionalisme bukanlah something given dan statis, melainkan sesuatu yang harus dibentuk dan dinamis. Secara historis, tidak ada yang bisa menolak bahwa Indonesia sebagai entitas kebangsaan merupakan sesuatu yang baru. Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan - sebagai antitesa terhadap dominasi kolonialisme Belanda - oleh kelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing yang terpisah, baik secara suku, agama, ras, dan kelompok yang banyak. 

Dasar pemikiran itulah yang menyebabkan Ernest Gelner menyebutnya sebagai bagian dari high culture and invented tradition. Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia tidak pernah ada sebelumnya, dan baru muncul pada awal abad ke 20 serta mencapai puncaknya ketika sebuah nation-state diproklamasikan pada tahun 1945. Sejak saat itu semua penduduk yang ada di bekas wilayah Hindia Belanda kemudian menyebut dirinya bangsa Indonesia dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, secara sosiologis perkembangan kebangsaan Indonesia harus dilihat lebih rasional dan obyektif - tidak hanya fokus pada ideologisasi dan mitologi historis - sebagai suatu proses yang unfinished project.

Globalisasi artinya “garis besar” atau kesejagatan. Era sekarang disebut globalisasi karena seluruh dunia dalam garis besar yang sama, dalam model yang sama, produksi yang digunakan-pun sama, dan sebagainya. Realitas demikian disebabkan semua bangsa dan negara di dunia ini menerima informasi yang sama, sehingga terjadi keseragaman dalam banyak hal. Fenomena ini merupakan kontribusi dari kecanggihan teknologi informatika. 

Alvin Toffler, penulis “The Power Shift” berpendapat bahwa saat ini dunia berada pada gelombang ketiga (the third wave), yaitu adanya revolusi informasi. Pada tahapan ini basic power terjadi pergeseran (shift), yaitu bertumpu pada mind atau rasio. Sedangkan pada gelombang kedua atau revolusi industri, basic power bertumpu pada money. Adapun gelombang pertama atau revolusi pertanian, basic power bertumpu pada otot (muscle). Sejalan dengan konteks diatas, maka terdapat dua ( 2 ) ciri pokok globalisasi, yaitu transparansi (the end of scret), dan persaingan bebas  atau liberalisasi.

            Selanjutnya, para ahli merisaukan dampak negatif dari globalisasi yang mereka sebut “the human cost of globalization”, yaitu : Pertama, hilangnya keragaman dan menstandarisasi kehidupan. Manusia hanya sebagai sekrup dari mesin raksasa yang menghilangkan spontanitas dan kebebasan, sebab manusia harus hidup seperti mesin. Kedua, munculnya fragmentasi , spesialisasi dam kuantifikasi. Ongkos yang harus dibayar dari kenyataan ini mengakibatkan pekerjaan kehilangan makna. Ketiga, ia melahirkan impersonality dan manipulasi. 

Keempat, ia seringkali berkembang tanpa kendali, sehingga membuat masyarakat powerless dan hopless. Kelima, ia juga menyebabkan alienasi dari Tuhan, sesama manusia, dan eko-sistem. Dalam keadaan teralienasi ini manusia mengalami stress, dan frustasi.  Di lain pihak, pada dasarnya globalisasi, rasa etnisitas, dan primordialisme kelompok adalah sesuatu yang bersifat genuine, karena merupakan bagian dari proses dialectic of potencial and will. Untuk itu, agar dampak negatif tersebut tidak semakin kuat seharusnya dieliminir atau paling tidak diminimalisir, sehingga diperlukan blue print of behaviour atau design for living. Dalam perspektif inilah kajian nation dan globalisasi tidak bisa dipisahkan dari pemahaman yang mendalam tentang multikulturalisme.

            Secara sosiologis, NKRI dengan keanekaragaman suku, agama, dan budayanya masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan kemiskinan. Semua realitas empirik tersebut  berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Lebih dari itu, tanah dan kekayaan sumber daya alam serta daya dukung lingkungan yang semakin terbatas dapat juga menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat bawah. 

Selain dari pada itu, identitas kebangsaan saat ini mejadi lebih kompleks dari pada sebelumnya, dikarenakan adanya masyarakat global (transnational society), yang mulai menafikan simbolisasi kebudayaan menurut mazhab imagining nation. Karenanya multikulturalisme adalah pilar kuat yang harus selalu dijaga kelestariannya. Pada dasarnya bangsa Indonesia adalah reperesentasi masyarakat pluralis dan multikultural. 

Itulah  kenyataan riil yang tidak bisa ditolak, dan sejarahpun mencatat bahwa Indonesia adalah sebuah ruang yang “nyaman” bagi keinginan umum terlaksananya jalinan pertalian dalam masyarakat pluralis sekaligus multikultur. Artinya, Indonesia  adalah ruang untuk saling menyapa atas segala bentuk perbedaan berdasarkan pada pluralitas  itu sendiri. Semangat Bhineka Tunggal Ika dalam lambang kenegaraan merupakan bukti bagi terbentuknya ikatan batin yang menyemangati keinginan untk hidup bersama secara damai tanpa dilibatkannya unsur-unsur perbedaan dalam suasana kebatinan berbangsa-bernegara.

            Namun, sampai hari ini ruang yang bernama Indonesia tersebut juga masih sering terkoyak dengan hadirnya sejumlah peristiwa konflik-konflik horizontal yang berdimensikan pluralitas, semisal suku dan agama. Konflik antar etnis diakui memang mengedepan dalam sejarah kita, ketika  memasuki masa transisi ini. Dari soal konflik di Papua yang dinuansakan sparatisme sampai konflik yang bernuansa suku dan agama, serta antar kelompok yang ironisnya belum terseleseikan secara tuntas. Berbagai realitas konflik antar agama, etnis dan antar golongan tersebut memunculkan sejumlah problem yang berkaitan dengan landasan kebangsaan kita yang didasarkan pada keragaman. Minimal konsep nation-state yang selama kita anut seolah hanya bergerak pada ranah “retorika” belaka, karena dalam realitasnya, secara empirik bangsa ini masih dihadapkan pada kesadaran yang rendah atas pluralitas dan keanekaragaman budaya. Sebagai sebuah bangsa, mozaik kebersamaan itu nyaris gagal menjadikan negeri ini sebagai tempat yang aman untuk saling menyapa satu sama lain. Dalam konteks ini, wajarlah jika ada  pengamat yang memberikan kritik atas pemahaman kebangsaan, bahwa pada dasarnya kita  “sedang belajar” menjadi sebuah bangsa.

            Lebih lanjut, nasionalisme tersebut tidak dapat dipahami hanya dengan menyatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, tediri dari berbagai suku, agama, dan berbagai kelompok yang terkesan adanya fragmentasi. Nasionalisme  juga tidak boleh dipahami sekedar untuk menyingkirkan fanatisme. Nasionalisme adalah pertalian sejati tentang kebhinekaan dalam ikatan keadaban (genuine engagement of diversities whitin the bonds of civility). Bahkan solidaritas dalam keragaman adalah suatu keharusan bagi keselamatan semua makhluk (rahmatan lil’alamin) yang harus dipertahankan melalui mekanisme perawatan dan pengawasan yang dijiwai oleh ruh keseimbangan dan kesederajatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun