Pada akhirnya, mata saya semakin tertarik saja membaca kitab tipis bersampul merah ini. Sudah hampir satu bulan menganggur di rak buku setelah hanya membaca bab mula-mulanya. Bab-bab awalnya tidak begitu menantang rasa penasaran karena isi ceritanya remeh temeh, tentang masa kecil Bung Karno.Namun di bab selanjutnya, mulailah buku karangan Purwadi ini benar-benar menggugah penasaran saya mengenal sosok Bung Karno (BK) lebih lagi. Buku bersampul merah ini berjudul “Sejarah Perjuangan Presiden Soekarno”.
Andai Bung Karno masih hidup sampai kini, pastilah Beliau menangis melihat negeri yang diperjuangkannya. Andai beliau masih hidup, maka saya pun –sebagai generasi muda– harus tertunduk malu karena hanya bisa menuliskan ide-ide saja saat negara ini membutuhkan tindakan nyata. Saat bangsa ini jelas-jelas dijajah multi partai politik dan penguasa, orang kebanyakan hanya bisa berkomentar secara lisan dan tulisan. Dan perubahan masih belum terjadi; Korupsi semakin masif, hutan semakin gundul, dan kekayaan alam dijarah para perampok domestik dan manca negara.
Pada masa penjajahan Belanda, Bung Karno mendirikan partai politik sebagai kendaraan perjuangan kemerdekaan. Pada tahun 1927 Bung Karno mendirikan PNI. Tujuannya jelas, kemerdekaan sepenuhnya. Sejak saat itu, beliau keliling daerah untuk meneriakkan harapan bahwa Indonesia harus merdeka. Sampai-sampai ia harus dipenjara, diasingkan dan disiksa. Kalau dulu, “sang proklamator” ini mendirikan partai politik untuk membebaskan rakyatnya, kini partai politik didirikan untuk menjajah rakyatnya kembali.
Dalam perjuangannya, penjara dan pengasingan menjadi tempat langganan Bung Karno karena gerakan propagandanya sangat ditakuti penjajah. Sekali beliau dibiarkan berpidato, maka kekuatan rakyat bertambah. Namun, selama beliau dipenjara, partai yang dibangunnya berhasil dipecah belah Belanda. Pengikutnya mulai berkurang.
Sementara itu, Sutan Syahrir dan Hatta juga membangun gerakan, namun tidak se-ekstrem yang dilakukan Soekarno. Menurut Hatta, gerakan yang dibangun Soekarno tidak akan berhasil karena terlalu radikal. Itu sebabnya, Hatta menganggap hal yang saat itu penting dilakukan adalah memberikan pendidikan kepada generasi muda untuk sadar juang. Gerakan Hatta adalah kebalikan dari gerakan Bung Karno.
“Konsepsi saya” kata Hatta kepada Bung Karno, “Kita menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk kawula alit (pemuda), ini lebih baik daripada kita bekerja keras atas daya tarik pribadi dari satu orang pemimpin”. Namun Bung Karno mengeluarkan pernyataan terbalik, “mendidik kawula alit supaya cerdas membutuhkan waktu bertahun-tahun, Bung Hatta. Jalan yang bung tempuh baru akan tercapai seumpama hari sudah kiamat.” Tentu saja, Bung Karno menyatakan ini karena sadar bahwa Indonesia sudah terlalu lama dijajah Belanda, lebih dari 300 tahun. Mau kapan lagi merdeka?
Saking kesalnya, Bung Karno juga akhirnya berseru dengan tegas kepada Hatta. Katanya “siapakah yang jadi pimpinan Bung? Bukukah? Kepada siapakah jutaan kawula alit akan berpegang? Kepada kata-katakah? Tak seorangpun dapat digerakkan oleh kata-kata. Kita tidak mungkin memperoleh kekuatan dengan kata-kata dalam buku pelajaran. Belanda tidak takut pada kata-kata itu. Mereka hanya takut pada kekuatan nyata, yang terdiri dari kawula alit yang mengerumuninya seperti semut. Mereka tahu, bahwa dengan jalan mencerdaskan kawula alit kita terhindar dari penjara. Akan tetapi kita juga akan terhindar dari kemerdekaan.”
Tak cukup kata-kata
Membaca ucapan Sang Proklamator ini, sontak saya tersadar. Ternyata kini mayoritas kaum terpelajar kita punya corak pergerakan ala Hatta. “Alon-alon asal kelakon” kata pepatah Jawa. Padahal, kondisi tubuh bangsa ini semakin parah dan akut. Mendengar berita korupsi yang tak habis-habisnya pastilah sangat memuakkan. Mengetahui Ujian Nasional (UN) yang masih menjadi pembodohan nasional pun sudah sangat menjengkelkan. Mengetahui anggota DPR seperti anak-anak TK pun telah menggelisahkan pikiran. Mengetahui hutan dari Sumatera ke Papua gundulpun cukup meresahkan. Namun apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat? Hampir-hampir saja kita menjadi pasrah tak berdaya.
Anehnya, kebanyakan kaum terpelajar kita hanya bisa menuliskan opininya di media massa. Selanjutnya, tulisan-tulisan itu hanya menjadi catatan usang yang hanya berguna bagi dirinya sendiri. Menurut Bung Karno, gugatannya hanya sebatas kata-kata tak berarti bagi penguasa yang sudah bebal. Kurang banyak apalagi kritik pedas yang dilontarkan kepada penguasa (bebal) kita di surat kabar, televisi dan jejaring sosial? Namun apakah ada perubahan yang signifikan? Nyaris tidak ada, malah semakin gawat.
Akhirnya, saya hanya bisa menerka-nerka nasib bangsa ini ke depannya. Perubahan ke arah yang lebih baik pasti akan datang. Hanya saja, bila kita masih hanya bertindak dengan tulisan dan kata-kata, maka perubahan itu akan datang sangat lama. Persis seperti yang dilakukan Hatta. Bangsa ini perlu melahirkan manusia-manusia seperti Bung Karno untuk mempercepat perubahan itu. Menulis itu penting dan baik demi peradaban bangsa kita yang lebih baik.Namun bila hanya sekadar berkata-kata tanpa perbuatan kongkret, maka lebih baik berhenti saja menulis, lalu lakukan revolusi. Merdeka!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H