Mohon tunggu...
RINTO TAMPUBOLON
RINTO TAMPUBOLON Mohon Tunggu... Guru - Seorang Ayah, Suami dari Isteri yang baik, Seorang guru dan juga orang yang mau belajar

Aku selalu memimpikan sebuah perubahan di bangsa ini, namun kan ku mulai dari diriku sendiri...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Semua Orang Bisa Berubah, Asal…”

28 Mei 2012   15:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:40 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku tak kunjung pindah dari bacaan. Sejak di dalam bus yang membawaku dari Siantar menuju Medan. Tiba di Medan, cerita tentang perlawanan Arok terhadap Tunggul Ametung makin membuatku penasaran. Itu sebabnya, meski suhu di kota Medan terkenal menyengat, aku melanjutkan karya Pramoedya itu (Arok Dedes) di dalam angkot dari Amplas menuju Pancing.

Raut wajahku berubah-ubah di dalam angkot. Kadang masam, ketika membaca adegan Ametung yang buruk rupa itu sedang menggodai Dedes di ranjangnya. Kadang tersenyum sumringah pas lagi membaca adegan Dedes yang dengan cerdas menusuk Ametung dengan kata-katanya. Sampai-sampai penumpang lainnya memandang aneh ke arahku. Tapi aku merasa lebih baik membaca buku daripada sibuk mengotak-atik hape pintar di angkot. *Sekalian kampanye baca di tempat publik, hehe…

Gak terasa, bus mini yang menghantarku berhenti di depan plaza Ramayana Aksara. Tandanya tujuanku pun sebentar lagi tiba, tak kurang dari 10 menit lagi. Tiba-tiba naik seorang gadis berambut ribonding ke dalam angkot. Tidak kuperhatikan penumpang yang naik saking asiknya membaca novel bersejarah itu. Karena sudah akan tiba, bacaaanku pun kututup. Mulailah aku memandangi tiap penumpang itu. Eh, ternyata si gadis yang berambut ribonding itu (sebut saja namanya Tiur) tersenyum manis di bangku ujung. Ternyata kami saling kenal. “Eh, Bang… Udah dimana sekarang abang?” sapanya memulai. Dengan mantap aku juga tersenyum di antara tatapan penumpang lain yang heran-heran melihatku tersenyum, “Hai de… Abang sekarang lagi di angkot kok,” jawabku ringan. Spontan saja penumpang yang lain tertawa mendengar basa-basi kami.

Ternyata aku dan Tiur turun di titik yang sama. Kami masih harus berjalan sejauh 100 meter lagi tiba di tempat masing-masing. “Udah kerja dimana Abang?” Tiur memulai perbincangan sambil berjalan pelan. “Belum kerja dek, tapi AKAN kerja” jawab saya enteng. “Kalau kau, udah tamat SMA tahe kau dek?” giliran saya yang bertanya. Ternyata Tiur sudah kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Medan setahun. Ia tidak punya rencana mencoba SNMPTN lagi karena Tiur sudah nyaman di kampusnya sekarang. Tapi aku melihat ada yang aneh dengan penampilan si Tiur.

Aku ingat perjumpaan kami pertama di kos-an seorang kakak sekitar 4 tahun yang lalu. Kala itu dia masih remaja yang mengenakan seragam putih biru ke sekolahnya. Tapi badannya besar dan tegap. Rambutnya dipotong seperti Polwan. Suaranya tegas bila berbicara. Sampai ia SMA, aku masih melihat penampilannya seperti itu. Tapi kali ini, Tiur berbeda. Dia tampak semakin feminin. Rambutnya sedikit lebih panjang dari yang dulu dan diribonding lagi. Kemeja dan roknya sangat rapih dan elegan. Tak tertinggal, suaranya pun semakin lembut saja.

Lantas sambil berjalan, aku bertanya, “Eh dek, ngomong-ngomong penampilanmu makin feminin aja ya?” Mendengar pertanyaan yang tak terduga itu, Tiur tertawa kecil tapi sambil menepuk bahuku dengan kencang. “Plakkk”, “Ah, abang ini lho…” lirih Tiur. “Semua orang kan bisanya berubah bang…” lanjutnya dengan suara yang masih lembut. “Asal dia mau bang…” simpulnya.

Wah, jawaban Tiur yang singkat itu sontak menyadarkanku satu hal penting: “Semua orang bisa berubah dari sifatnya yang lama, asal dia MAU!” Hmm… Aku langsung mengingat-ingat karakterku yang masih sulit diubah. “Apa memang karena aku tidak mau mengubahnya ya?” tanyaku dalam hati.

Persimpangan jalan sudah di depan mata. Tiur akan berjalan ke kiri dan aku ke kanan untuk tiba di rumah tujuan. Tapi bahuku yang ditepuk tiur dengan keras tadi masih terasa nyeri. Lantas ucapku, “Eh Tiur, memang bolehlah penampilanmu menjadi feminin, dan suaramu menjadi lebih lembut. Tapi kok pukulanmu masih keras juga ya dek?” tanyaku sambil mengakhiri percakapan kami. Spontan Tiur tertawa sambil tersipu malu, dan persimpangan pun memisahkan kami. Aku hanya senyam-senyum sendiri berjalan menuju rumah persinggahanku.

*Medan, 28 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun