Mohon tunggu...
Sopyan Maolana Kosasih
Sopyan Maolana Kosasih Mohon Tunggu... -

Saya adalah guru PKn di SMP Negeri 3 Bogor.\r\nSaya juga senang beraktifitas diberbagai kegiatan sosial yang terkait dengan pendidikan dan pelayanan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Guru dalam Penindasan Profesi

7 Januari 2012   11:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:12 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru yang sering merasa tidak memiliki peran apapun, bahkan sering menjadi objek penderita bagi setiap kebijakan pemerintah atau oknum dalam berbagai lapisan. Ketidaktahuan ini berdampak pada pola kinerja yang cenderung pasrah dan takut untuk melakukan sesuatu. Tentu saja ini bukan keseluruhan atau pukul rata, tetapi kalau kita amati dalam berbagai perbincangan  atau berinteraksi dengan para guru maka kita akan menyadari betapa profesi guru masih jauh menanamkan sikap profesionalitasnya. Belum lagi kendala guru honorer yang sampai saat ini menjadi permasalahan yang sampai saat ini belum bisa dipecahkan.

Contoh permasalah guru yang sering dijadikan perasan dan sering ditemui (sekali lagi ini kasus yang banyak terjadi dan bukan keseluruhan), adalah:


  1. Kenaikan golongan pada saat pengambilan SK
  2. Penyesuaian masa kerja
  3. Daftar antrian sertifikasi
  4. Pencairan sertifikasi
  5. Uang BOS
  6. Uang Block Grant
  7. Seleksi Kepala Sekolah
  8. dan lain-lain


Berkembangnya paranoid ini bukanlah proses instan karena sudah berlangsung lama dan mereka sudah menyaksikan betapa menyakitkannya akibat yang akan terlihat jika tidak bisa bekerjasama atau memahami keinginan mereka (baca: oknum).

Tahukah akibatnya? Sejauh ini dampak yang nyata dan tidak mau diakui adalah dengan diadakannya ujian nasional. Jika kita menelusuri dari awal ternyata sederhana, Pak Jusuf Kalla saat itu menjadi Wapres bertanya mengenai infra struktur pendidikan, mutu guru, sarana prasarana, dan sebagainya yang dijawab dengan menteri sudah OK banget. Menteri menjawab karena mendapat laporan dari Dirjen, Dirjen mendapat laporan dari Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Provinsi mendapat laporan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dari Pengawas dan Kepala Sekolah. Jadi tidak ada yang salah dengan Wapres ketika memutuskan Ujian Nasional, karena berdasarkan laporan OK.

Dampaknya, karena kadung berkata OK, maka Bupati/Walikota dan Dinas Pendidikan melakukan pendekatan ekstrim dengan melakukan pola kecurangan masive yang dianjurkan bahkan diajarkan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari laporan tadi. Pelaksananya? Tentu saja guru yang dengan hati yang tercederai seolah tidak memiliki pilihan untuk menolak.

Di sisi lain, pendidikan memang penuh dengan pelecehan dan lelucon konyol, kalau melihat guru di sinetron atau iklan kita  bisa melihat guru seperti orang idiot, bego, dan tidak ada sisi positifnya. Dikerjai murid, dijadikan lelucon dalam iklan, sehingga menambah parah citra guru di masyarakat. Sikap guru terhadap pelecehan dari media memang cukup memprihatinkan, hampir-hampir tidak melakukan tindakan dalam proses peningkatan citra. Jangan-jangan banyak guru merasa kalau mereka seperti itu jadi tidak perlu lagi membela profesi dirinya.

Bayangkan dengan cara yang berbeda, betapa guru memiliki kekuatan yang besar dan mampu mempengaruhi republik ini. Saya akan menjelaskan salah satu kekuatan itu, yaitu:


  1. Jika guru mampu bersatu dan memiliki visi yang sama maka guru bisa menolak setiap perintah yang bertentangan dengan nurani dan hukum misalnya memberikan contekan kepada siswa pada saat UN. Ketika guru bersepakat menolak maka tidak ada yang bisa memaksanya karena semuanya ada dalam satu ikatan solidaritas.
  2. Guru sepakat tidak memberikan tips kepada oknum Dinas pendidikan, jika dilakukan bersama-sama rasanya tidak mungkin semua guru akan dinistakan dan diintimidasi.
  3. Guru melakukan kampanye kepada produk yang melecehkan guru seperti iklan mie sedap, iklan minuman, dan masih banyak lagi
  4. Guru melakukan kampanye kepada siswa agar menolak menonton atau membuat trending topic di twitter untuk menolak sinetron konyol.


Sepertinya sebagian dari langkah-langkah itu kalau dilakukan bersama-sama di Indonesia maka mereka akan menjadi respek dan tidak lagi menjadikan guru sebagian bagian dari upaya mencari keuntungan baik secara pribadi atau perusahaan. Berani?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun