*) Sopyan Maolana Kosasih
Ujian akhir nasional usai sudah. Segenap perasaan mengharu biru ketika kelulusan dan hasil ujian sudah diketahui hasilnya. Bahkan sejak awal, kontroversi Ujian Nasionalnya pun terus mendapat tanggapan yang beragam. Tak jarang, ada orang tua yang dengan segala macam cara dilakukan oleh orang tua dari hal yang legal sampai illegal supaya anaknya mendapatkan nilai yang memuaskan. Namun, hasil Ujian Nasional yang cukup bagus ternyata belum mendapatkan rasa aman bagi orang tua karena tahu nilai yang dicapai anaknya bukan yang tertinggi atau mendapatkan saingan yang cukup signifikan bukan hanya dari sekolahnya tapi juga dari sekolah lain. Perjuangan belum selesai bagi orang tua.
Fase berikutnya adalah fase yang cukup berat dan banyak dilakukan oleh orang tua siswa dengan jemput bola mendatangi sekolah-sekolah paforit untuk mendapatkan informasi akurat mengenai mekanisme penerimaan di sekolah tersebut. Bahkan tak jarang mereka mulai melakukan pendekatan personal demi mendapatkan pelayanan ekstra. Subjektifitas orang tua terhadap sekolah yang ada di sebuah wilayah memang dirasakan cukup tinggi. Secara tradisional orang tua yang peduli dengan anaknya sudah memetakan sekolah mana yang gurunya bagus, berkualitas, layanan sekolah dan fasilitasnya lengkap, serta berjuta kriteria terus dicari untuk melakukan pembenaran bahwa pilihan yang ia ambil tidak salah. Hal itu dilakukan oleh orang tua tiada lain dan tiada bukan semata-mata demi memenuhi perasaan prestise diri dan keluarganya di mata kolega dan kerabatnya.
Cara pensikapan orang tua dalam memilih sekolah yang disesuaikan dengan kriteria dan strata dirinya tidaklah salah. Pertanyaannya adalah, mengapa orang tua hanya memikirkan anaknya supaya masuk di sekolah-sekolah yang sudah “bagus”? Mengapa orang tua tidak memilih sekolah yang bisa menerima putra putrinya sesuai dengan kapasitasnya? Apakah memang ada sekolah bagus dan tidak bagus? Apakah sekolah terbaik di daerahnya akan menjadi jaminan kesuksesan putra-putrinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu saya sampaikan tidak dalam konteks kecemburuan kepada sekolah favorit, namun pertanyaan-pertanyaan di atas saya sampaikan semata-meta ingin mengembankan kesadaran kepada orang tua bahwa sekolah dimanapun adalah baik karena semuanya menggunakan standar yang sudah di syahkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Hal yang ingin saya utarakan lainnya adalah bahwa jika ada sekolah yang dianggap tidak baik bukan berarti mereka harus ditinggalkan atau kalaupun terpaksa masuk bukan berarti harus merasa rendah diri, namun bagaimana orang tua berjibaku berasama-sama dengan guru untuk memberikan yang terbaik secara sinergi.
Kalau kita melihat acuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bagian Ketiga tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 berbunyi: Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Dilanjutkan pada Pasal 9 berbunyi: Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Di sana jelas bahwa di setiap sekolah ada peran yang tidak boleh diabaikan oleh setiap orang tua yang sudah berkomitmen menyekolahkan anaknya di suatu sekolah. Walau secara materia dia sudah bisa memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada sekolah bukan berarti ia tidak lagi peduli untuk melakukan upaya-upaya yang dapat memajukan sekolahnya menjadi lebih baik dan semakin baik.
Pada hal ini saya lebih menyoroti peran orang tua di sekolah tingkat dasar (SD – SMP) yang sejauh ini terlihat peran orang tua semakin menjauh. Betul, sekolah tingkat dasar itu gratis karena ada program BOS dari pemerintah, namun bukan berarti peran orang tua untuk melakukan pengembangan mutu sekolah yang jelas akan berdampak pada putra-putri menjadi terhenti. Seharunya, peran komite sekolah menjadi semakin dinamis dan mampu mengajak semua orang tua untuk semakin erat mendukung dan berpartisipasi secara maksimal. Dukungan dimaksud tidaklah melulu uang, namun peran-peran lain dalam pembelajaran jelas-jelas memerlukan partisipasi dari semua pihak. Proses penyadaran ini memang harus mendapatkan perhatian serius sehingga undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak menjadi hiasan dan pelengkap saja sedangkan isinya tidak pernah dijewantahkan dalam kenyataan di lapangan.
Pada sebuah sekolah ideal ada peran-peran yang seharusnya bersinergi dan interdependen. Mereka saling memahami dan saling memberikan kepercayaan sesuai peran masing-masing. Semakin kepercayaan itu dijalin maka akan semakin berdampak positif pada hasil yang diharapkan oleh semua pihak. Saya jadi teringat dengan buku yang ditulis oleh Steven Covey, seorang pakar kepemimpinan dan konsultan sekolah yang ulung. Ia menulis buku yang berjudul The Leader in Me. Pada buku tersebut dijelaskan bahwa pendidikan itu hanya akan dicapai jika semua bersedia dan bersepakat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan oleh semua pihak seperti: orangtua, guru, Kepala Sekolah, staff Tata Administrasi Sekolah, dan masyarakat. Di mana semua pihak berdiri dan berperan di posisi masing-masing dengan penuh respek.
Kesepakatan-kesepakatan itu menjadi acuan bagi sekolah dalam kegiatan sehari-hari dan juga akan dijadikan patokan oleh orang tua ketika ia melihat perkembangan anaknya dari hari kehari di sekolah. Secara ekstrim, jika kesepakatan-kesepakatan itu dilanggar maka semua orang dapat dengan mudah menuntut dan meminta pertanggungjawaban, walau dalam buku itu dengan jelas digambarkan menjadi sangat tidak mungkin ada kasus tersebut. Bayangkan, dalam waktu singkat sebuah sekolah yang hampir ditutup oleh pemerintah negara bagian karena kekurangan siswa tiba-tiba berubah menjadi sekolah terbaik dengan slogan Magnet School.
Kalau di Amerika Serikat bisa, saya yakin di Indonesia pun bukan hal yang tidak mungkin. Semua orang bisa melakukannya dalam situasi dan kondisi yang berbeda sekalipun, asalkan semua syarat-syarat yang ada di buku tersebut dapat dipenuhi dan tidak sekedar dipenuhi namun benar-benar tumbuh suatu kehendak bersama yang siap diimplementasikan dalam tindakan yang penuh tanggung jawab. Sudah banyak di Indonesia ini kisah-kisah heroik tentang pendidikan. Pertanyaannya adalah apakah orang tua masih berpikir terima jadi dan tidak mau bekerja keras untuk sekolah putra-putrinya?
Sebaik apapun sebuah sekolah jika peran orangtua tidak ada sama sekali maka dapat dipastikan bahwa sekolah tersebut tidak akan pernah bertahan lama dan menjadi kering dari inovasi. Orang tua adalah the best quality assurance yang akan mengabarkan kepada semua orang seperti apa sekolah putra-putrinya, seperti apa perilaku guru-gurunya, seperti apa inovasi-inovasi yang dilakukan gurunya, program-program apa yang dilakukna oleh sekolahnya. Betapa keringnya sebuah sekolah jika saja semua beban dan tanggung jawab pembelajaran itu hanya dibebankan kepada sekolah saja. Sekolah gratis bukan berarti peran orang menjadi hilang dan menganggap peran orangtua murid sudah digantikan oleh negara. Sungguh itu adalah peran sempit dari sebuah harapan yang besar.
Untuk sekolah, sebaiknya memulailah komunikasi yang baik dengan orangtua murid. Jadikan Komite Sekolah sesuai dengan tata aturan yang sudah diundangkan. Berikan kepada mereka peran dan kesetaraan dalam tanggung jawab meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Komite Sekolah bukan hanya pelengkap, namun bisa menjadi sebuah kekuatan besar yang akan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di sekolah. Jadi, kenapa tidak sekolah memulai dari awal menjalin harmonisasi dan keterbukaan. Tentu semuanya harus dipastikan sesuai dengan rambu-rambu yang ada dan telah disepakati.
Komite Sekolahpun hendaknya semakin proaktif bukan hanya kepada sekolah namun lebih proaktif lagi memotivasi semua orangtua untuk berperan aktif. Komite Sekolah bukan lembaga yang diciptakan untuk memungut iuran saja namun di sana terpampang sebuah harapan besar dan tanggung jawab bersama sekolah meningkatkan pelayanan mutu dan kualitas pembelajaran. Ada ruh gotong royong, bagaimana Komite Sekolah mengetahui siapa saja orang tua yang kurang mampu, orangtua yang sedang tertimpa musibah, dan hal lainnya. Sehingga eksistensinya akan menjadi dibutuhkan dan dinantikan.
Bayangkan jika sinergi itu berjalan, maka transparansi sekolah dengan sendirinya akan bisa diwujudkan. Jika transparansi sudah terealisasi akan muncul kepercayaan. Jika kepercayaan itu sudah didapatkan, maka dapat dipastikan orang tua akan mendukung penuh program-program sekolah yang akan dilaksanakan. Standar pelayanan dan program sekolah yang dibuat berdasarkan BOS bisa ditunjukkan kepada Komite Sekolah. Bahwa jumlah program dengan alokasi yang ada belum bisa maksimal dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan orang tua. Jika fakta-fakta itu nyata, siapapun orangtua sudah dapat dipastikan akan memahami pentingnya peran dan dukungan orangtua. Tetapi, peran mereka bukan semata-mata melalui iuran karena bisa jadi orang tua akan mencarikan sponsor atau donatur besar untuk memenuhi program-program ideal. Bahkan mungkin akan lebih dari itu.
Kalau elemen-elemen itu berjalan, maka sekolah seperti apapun sekarang dimana akhirnya putra-putrinya disekolahkan. Bukan tidak mungkin dalam waktu setahun kedepan atau berapapun lamanya hanya soal waktu untuk berubah dan menjadi yang terbaik. Jadi jangan takut putra-putrinya tidak berhasil belajar di sekolah favorit karena dimanapun selaku orangtua harus siap untuk memajukan dan mendukungnya. Jadi berperanlah sebagai orangtua yang proaktif bukan sebagai orangtua yang menyerahkan semua urusan anaknya kepada sekolah.
Selamat atas keberhasilan putra-putrinya! Semoga mereka menjadi yang terbaik dengan melalui tahapan-tahapan baik pula!
*) www.sopyanmk.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H