BARU-BARU tadi, Tim sepak bola kita kalah lagi, kali ini diwakili oleh ISL Allstars, ketika berhadapan dengan tim Juventus, dengan hasil kemenangan telak 1- 8 untuk Juventus. Kekalahan Tim sepakbola Indonesia tidak hanya itu saja. Pada 2007 lalu, Timnas dihajar Suriah dengan skor 1- 4, kemudian disusul dengan pertandingan Tim Indonesia dengan Borussia Dortmound, tim kita kalah tipis 0 -1 dari Dortmound. Bergeser sedikit ke 2008, Tim Indonesia berhadapan dengan club papan atas liga Jerman, Bayern Munchen. Hasil pertandingan, Tim kita kalah dengan selisih 4 gol, skor akhir 1-4. Pada 2011, Indonesia Selection melawan LA Galaxy, berakhir dengan skor tipis 0-1 untuk LA Galaxy. Tim Indonesia kembali mengalami kekalahan beruntun pada 2012. Indonesia Selection melawan Inter Milan, dengan skor 2-4 untuk club asal Italia tersebut. Tidak berselang lam, club liga Spanyol, Valencia vs Tim Indonesia, dengan skor telak 8-0 untuk kemenangan Valencia. Indonesia Allstars Legend versus Ac Milan Glory, dengan hasil akhir 2 – 4 untuk tim yang dihuni mantan pemain Ac Milan. 2013, klub papan atas liga Inggris, Arsenal, berhasil menggasak Indonesia Dream Team dengan skor 7-0. Masih ditahun yang sama, kali ini tim Indonesia XI berhadapan dengan Liverpool dengan skor 0-2. Kemudian disusul dengan Chelsea yang menekuk Indonesia 8-1, dan laga uji coba Belanda vs Timnas dengan skor 3-0.
Apa yang salah dengan sepak bola Indonesia? Tidak ada yang salah dengan persepakbolaan kita, hanya saja, memang klub-klub yang berhasil mengalahkan tim andalan Indonesia adalah klub-klub papan atas dengan skill, strategi, teknik yang di atas rata-rata pemain kita. Terlepas dari rentetan kekalahan tim sepak bola kita ketika berhadapan dengan klub-klub luar negeri, yang membuat kita miris adalah ketika kita menyaksikan pertandingan tersebut, di stadion malah dipenuhi oleh penonton kita yang mendukung tim lawan. Hal itu bisa dilihat dari atribut yang digunakan mereka. Sebagaimana kita saksikan ketika laga antara ISL Allstar menghadapi Juventus, yang notabenenya laga tersebut berlangsung di kandang sendiri, namun sungguh ironis, mayoritas penonton kita mengenakan kaos tim lawan. Tidak hanya pertandingan itu saja, dipertandingan yang sebelumnya pun, kita ‘lebih suka’ mendukung tim lawan, dan bersorak ketika lawan membobol gawang tim kita.
Wajar jika tim kita kalah, karena penduduk di negerinya sendiri malah mendukung tim lawan, hanya sedikit yang mendukung tim nasional kita. Pelatih timnas Belandapun mengaku heran dengan sikap suporter Indonesia, yang memberikan tepuk tangan saat gawang Indonesia dibobol timnas Belanda.
Kelirukah sikap demikian? Tidak, bagi mereka yang mengidolakan pemain kesayangannya, klub kesayangannya. Namun jika kita mengehela nafas lebih dalam dan merenungkan sikap demikian, ada hal yang perlu dikoreksi, kenapa kita malah asik mendukung tim lawan, sementara tim kita sendiri tidak didukung, bahkan di negeri kita sendiri? Penonton riuh bersorak ketika klub pujaannya membobol gawang tim nasional kita. Senang ketika Indonesia kalah. Padahal mengalahkan tim dari Indonesia, berarti telah mengalahkan seluruh rakyat Indonesia. Walaupun pertadingan tersebut hanya laga persahabatan.
Ini bukan soal sepak bola, ini soal “amuk nasionalisme”. Soal nasionalisme yang luntur oleh sikap fanatisme berlebihan terhadap sosok pujaan/tim idola. Sehingga kita tidak memiliki lagi rasa kecintaan terhadap bangsa dan negeri kita sendiri. Kita lupa akan semangat nasionalisme. Bukankah mereka (tim nasional) bagian dari bangsa kita sendiri? Sikap demikian perlu disadarkan kembali, mengingat kita sudah 69 tahun merdeka.
Memupuk Nasionalisme
Indonesia dengan luas wilayah yang menempati urutan ketiga belas di seluruh dunia, terdapat lebih dari 1.128 suku bangsa dan 17.504 pulau, 442 ragam bahasa dan kaya akan sumber daya alam. Sedikit banyak berpotensi menimbulkan ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan (AGHT) yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. AGHT tersebut harus kita hadapi bersama-sama dengan membangun kekuatan sebagai satu kesatuan yang utuh. Munculnya gerakan separatis, semisal, yang mengancam disintegrasi bangsa harus kita lawan bersama. Chauvinsme sempit, fanatisme sempit, eksterimisme harus dihilangkan dengan cara menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Nasionalisme dalam arti kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial/aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa, harus diartikan secara positif. Momentum peringatan kemerdekaan RI yang ke-69 ini harus dijadikan titik awal untuk kembali merajut semangat nasionalisme yang belakangan ini mulai luntur. Kepentingan bangsa dan Negara, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Apalagi bangsa Indonesia baru saja melangsungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presidennya, dan penetuan siapa yang menduduki kursi presiden akan kita ketahui pada 21 Agustus besok, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan hasil sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden. Semoga dengan momentum peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-69 ini, kembali menyadarkan kita akan pentingnya nasionalisme yang sekarang mulai luntur karena fanatisme sempit yang berlebihan. (SH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H