KELANGKAAN LPG tabung 3 Kg (LPG subsidi) di berbagai daerah kembali terjadi. Kelangkaan ini terus berulang sejak digulirkannya program ini pada 2007 yang lalu. Program Konversi minyak tanah ke LPG sejatinya ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM khususnya minyak tanah. Program ini sudah mencakup seluruh Jawa, seluruh Bali, sebagian besar Sumatera, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi. Program pengalihan minyak tanah ke LPG dilakukan pemerintah antara lain untuk efisiensi anggaran pemerintah, karena penggunaan LPG lebih hemat dan subsidinya relatif lebih kecil daripada subsidi minyak tanah. Di sisi lain, penggunaan LPG sekaligus untuk mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi, karena LPG lebih aman dari penyalahgunaan. Namun harapan tersebut tidak sesuai kenyataan di lapangan, penyalahgunaan LPG subsidi setali tiga uang dengan minyak tanah bersubsidi.
Di Kalimantan Selatan, Program ini hanya berjalan sebagian kabupaten/kota saja, masih terdapat lima kabupaten yang belum dapat jatah melaksanakan konversi LPG, yaitu Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Diharapkan, 2015 ini, semua kabupaten tersebut sudah rampung melaksanakan konversi.
Kebijakan konversi ini diiringi dengan pencabutan subsidi minyak tanah oleh Pemerintah, masyarakat diharapkan menggunakan LPG sebagai pengganti minyak tanah. Namun kebijakan yang tidak serempak ini, khususnya di Kalimantan Selatan, menyebabkan kelangkaan minyak tanah, karena selain harga yang tidak disubsidi lagi, pasokan juga dikurangi oleh Pertamina. Ini terjadi di beberapa kabupaten yang belum melaksanakan konversi.
Akibatnya di lapangan, terjadi permainan harga minyak tanah oleh oknum yang mencari keuntungan, misalnya dengan menaikkan harga atau menjual ke industri yang berani membayar tinggi. Dampak besarnya adalah biaya hidup masyarakat lemah semakin tinggi, akibat konversi yang dijalankan setengah-setengah. Masyarakat juga dibuat bingung, mau menggunakan minyak tanah, tapi langka. Mau pakai LPG, tapi konversi belum dijalankan.
Mentalitas Rente
Di kabupaten/kota yang sudah melaksanakan konversi, persoalan yang tidak teratasi dan terus berulang hampir setiap tahun, yakni kelangkaan LPG 3 Kg. Banyak faktor pengikut yang menyebabkan kelangkaan tersebut. Pertama, program konversi yang tidak serempak, membuka peluang penyalahgunaan LPG bersubsidi. LPG banyak dilarikan ke kabupaten/kota yang belum melaksanakan konversi. Kelangkaan minyak tanah di daerah yang belum melaksanakan konversi, sedikit banyak mendorong masyarakat untuk beralih ke LPG, hukum ekonomipun berlaku, ada permintaan dan ada penawaran. Kedua, terjadi disparitas harga yang cukup tinggi, antara LPG 3 Kg dengan LPG 12 Kg, akibatnya muncul penyalahgunaan LPG subsidi dengan cara memindahkan isi tabung LPG 3 Kg ke tabung LPG 12 Kg. Di samping itu, terjadi migrasi konsumsi masyarakat kalangan menengah atas, yang sebelumnya menggunakan LPG tidak bersubsidi, pindah ke LPG bersubsidi. Adanya migrasi tersebut, tentunya menambah pengguna LPG bersubsidi, sedangkan data dari Pertamina tidak berubah. Distribusi ke agen penyalur masih menggunakan data yang belum akurat.
Ketiga, banyaknya agen penyalur yang bermental rente, distribusi LPG subsidi dialihkan ke industri-industri. Industri Kecil dan Menengah yang dulunya menggunakan LPG 12 Kg, kini beralih ke LPG bersubsidi, karena disparitas harga yang begitu jauh. Di samping itu, sekarang banyak beredar LPG yang dikurangi isinya atau “LPG Kentut”.
Terakhir, terhambatnya pasokan dari Pertamina. Pada 2012 lalu, pasokan LPG di Banjarmasin terhambat dan berujung pada kelangkaan LPG, salah satunya disebabkan rusaknya infrastruktur jalan. Suply yang biasanya hanya butuh waktu 3 hari, dari Depo LPG Balikpapan ke Banjarmasin, ditempuh dalam waktu 4-5 hari karena jalan yang rusak parah.Untungnya, pembangunan Depo LPG di Kabupaten Batola telah selesai, sehingga memangkas jarak suply.
Selain itu, distribusi LPG hanya dilakukan oleh Pertamina pada hari kerja, ketika ada libur panjang, maka pasokan juga terhenti. Jika dalam satu hari kerja, misalnya Pertamina bisa mendrop LPG sekitar 1.000 tabung ke suatu daerah, rata-rata perbulan 21 hari kerja, maka dalam satu bulan 21.000 tabung, namun jika dalam satu bulan ada libur 3 hari, maka pasokan tabung berkurang sebanyak 3.000 tabung.
Agar program ini berjalan sesuai dengan harapan, maka perlu kebijakan pemerintah, diantaranya diiringi dengan kesiapan untuk membangun Depo LPG atau Stasiun Pengisian Bahan Elpiji (SPBE) di setiap kabupaten/kota yang melaksanakan konversi, agar jarak suply tidak terlalu jauh. Kedua, operasi pasar terus dilakukan, sampai kelangkaan teratasi. Ketiga, Pertamina harus mendata lagi keperluan agen penyalur, karena adanya migrasi konsumsi LPG dari 12 Kg ke 3 Kg. Selain itu, perlu ada pengawasan terkait penerapan Harga Eceran Tertinggi LPG 3 Kg, dan terakhir perbaiki infratruktur jalan, untuk menjamin kelancaran distribusi. (SH)