Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, mengamanatkan paling lambat 5 tahun agar sudah dibentuk sebuah badan hukum yang menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional. Namun baru pada tahun 2011, melalui Undang-Undang No. 24Tahun 2011, badan hukum yang menyelenggarakan jaminan sosial nasional tersebut telah mempunyai payung hukumnya. Badan hukum tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang dibentuk berdasarkan prinsip kegotongroyongan,nirlaba,keterbukaan, kehati-hatian,akuntabilitas,portabilitas,kepesertaan bersifatwajib,danaamanat,danhasilpengelolaan danajaminansosialseluruhnyauntuk pengembanganprogramdanuntuksebesar-besar kepentingan peserta. Tujuannya tidak lain adalah untukmewujudkanterselenggaranya pemberianjaminan danterpenuhinyakebutuhandasar hidupyanglayakbagisetiapPesertadan/atauanggota keluarganya.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ada dua macam. Pertama, BPJS Ketenagakerjaan, menyelenggarakan program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian, yang sebelumnya diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero). BPJS Ketenagakerjaan, dibentuk paling lambat 1 Juli tahun 2015. Kedua, BPJS Kesehatan, yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk yang terakhir ini, menarik untuk dibahas, mengingat program jaminan kesehatan nasional ini telah berjalan kurang lebih dua bulan. Namun belakangan, program jaminan kesehatan tersebut banyak dikeluhkan, keluhan datang dari berbagai pihak mulai dari dokter, rumah sakit hingga pasien.
Diagnosa 144 Penyakit
BPJS Kesehatan menggunakan sistem rujuk berjenjang, artinya masyarakat yang ingin berobat harus terlebih dahulu didiagnosis di fasilitas kesehatan primer (puskesmas/klinik/dokter keluarga), sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan sekunder (rumah sakit). Sistem rujuk berjenjang ini dimaksudkan agar penyakit ditangani sesuai dengan diagonosa tingkat penyakitnya, dengan harapan agar tidak terjadi lagi penumpukan pasien di rumah sakit. Misalnya batuk dan pilek, tidak perlu masyarakat langsung berobat ke rumah sakit, puskesmas masih bisa menanganinya. Lagi pula, jika masyarakat langsung berobat ke rumah sakit tanpa disertai surat rujukan, maka pasien akan dikenakan tarif yang tinggi. Di samping sistem rujuk berjenjang, era BPJS Kesehatan juga menggunakan sistem rujukan balasan. Rujukan balasan berarti pasien yang telah berangsur pulih setelah berobat di rumah sakit, dikembalikan ke puskesmas. Begitu pula pasien dari rumah sakit tipe A, dialihkan ke tipe B atau kelas lain sesuai kategori kondisi kesehatannya. Artinya, pasien tak bisa terus-terusan di rumah sakit hingga sembuh total.
Ada 144 daftar penyakit yang harus tuntas ditangani oleh puskesmas, keluhanpun datang dari perawat yang bertugas di puskesmas. Dari 144 daftar penyakit tersebut, tidak semuanya puskesmas/klinik mampu untuk menangani, ada beberapa penyakit yang memang harus ditangani oleh rumah sakit, karena kurangnya sarana dan prasana penunjang untuk melakukan tindakan medis. Misalnya penyakit Demam Berdarah, pasien harus opname, tidak bisa dirawat di puskesmas yang memang tidak mempunyai fasilitas rawat inap. Demikian juga pasien stroke, alat pemeriksaan penunjang tidak ada di puskesmas, bagaimana harus menanganinya dengan keterbatasan sarana tersebut. Namun demikian, puskesmas diperbolehkan untuk merujuk pasien jika tidak bisa tertangani. Untuk itu, perlu perhatian khusus untuk meningkatkan sarana prasana dari pemerintah terhadap fasilitas kesehatan layanan primer, baik dari segi tenaga medisnya maupun sarana pemeriksaan penunjang.
INA CBG’s
Untuk fasilitas layanan seperti rumah sakit, BPJS Kesehatan menggunakan pola pembayaran Indonesia Case Based Groups (INACBG's) dalam pelayanan pembayaran untuk rumah sakit rujukan. Tarif INA CBG'S artinya tarif paket menurut diagnosa penyakit, dimana konsultasi, laboratorium, tindakan, jasa dokter, obat dan lain-lain, sudah termasuk di dalam paket tersebut. Besaran tarif tersebut juga berbeda sesuai kelas rumah sakit dan daerahnya, rumah sakit yang kelasnya lebih besar akan mendapat kompensasi yang lebih besar, rumah sakit tipe kecil akan mendapat tarif yang lebih kecil.
Belakangan, tarif INA CBG’s banyak dikeluhkan oleh rumah sakit, terutama rumah sakit yang bukan plat merah, karena tarifnya di bawah standar yang ditawarkan oleh rumah sakit. Bisa dimaklumi ketika masih banyak rumah sakit swasta yang belum mau bekerja sama melayani pasien peserta BPJS Kesehatan, karena mereka khawatir akan rugi. Untuk rumah sakit pemerintah, mau tidak mau mereka harus ikut mensukseskan program ini. Namun kekawatiran juga muncul, ketika rumah sakit “dipaksa” untuk menerima tarif yang di bawah standar tersebut.
Mengutip cerita seorang dokter kandungan yang melayani pasien BPJS, seperti yang termuat dalam situs DIB (Dokter Indonesia Bersatu), membuat kita merasa miris. Betapa tidak, tarif INA CBG’s untuk pelayanan bersalin secara caesar, berkisar 3-4 juta rupiah. Paket tersebut diantaranya obat bius, benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang diterima oleh dokter kandungan? Tergantung berapa biaya pengeluaran setelah dikurangi dengan obat bius, benang jahit, obat dan lain-lain, honor yang diterima dokter bisa hanya Rp. 60.000,- (enam puluh ribu rupiah). Dokterpun dibuat pusing, dokter harus pintar memutar otak untuk berhemat, dari menghemat benang jahit sampai mencari obat bius yang murah meriah. Kepedihan yang dirasakan sang dokter tidak hanya sampai disitu, obat nyeri pasca operasi untuk pasien juga tidak ditanggung. Tidak hanya pasien, dokterpun bisa merasakan betapa sakitnya penderitaan yang dialami pasien pasca melahirkan secara caesar.
Tinjau Ulang
Penentuan tarif INA CBG’s yang rendah mengharuskan dokter untuk melakukan penghematan disegala bidang, bahkan dengan mengesampingkan jasa medis yang didapatnya. Hal ini tentunya berpotensi menurunkan standar pelayanan dan pada akhirnya pasienlah yang dirugikan.
Untuk obat dalam paket INA CBG'S, hanya berlaku selama tujuh hari. Beda dengan zaman Askes dulu, pasien bisa diberi obat hingga sampai satu bulan, tidak harus bolak balik ke puskesmas atau ke rumah sakit untuk minta obat lagi. Sehingga untuk pasien kronis, mengharuskan pasien berulang kali datang untuk mendapatkan obat yang sama.Untungnya, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 32 Tahun 2014. Tujuannya, agar pasien kronis bisa mencapatkan obat untuk 30 hari yaitu tujuh hari dari paket INA CBG's dan 23 hari diresepkan dan diambil di apotek atau instalasi farmasi yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Sedangkan untuk obat kemoterapi, sesuai surat edaran tersebut, ditagihkan di luar paket INA CBG'S oleh apotek atau instalasi farmasi yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Kedepan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan harus meninjau ulang penetapan tarif INA CBG’s ini, agar tidak ada kesenjangan antara rumah sakit antarrumah sakit yang berbeda tipe, dokter serta pasien juga tidak dirugikan. Pun rumah sakit swasta bisa bekerjsama untuk menyokong program ini. BPJS Kesehatanpun tidak lagi diplesetkan menjadi Banyak Pasien, Jasa Sedikit. (SH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H