Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sebuah cerita fiktif. Pagi hari, di sebuah rumah sedang terjadi pertengkaran antara suami dan istri. Sebabnya adalah si suami yang ketahuan menikah lagi dengan wanita lain. Terjadilah dialog antara suami dan istri,
Istri : “Abang sungguh tega..!”
Suami : “Tega kenapa..?”
Istri : “Abang nikah kok diem-diem, harusnya abang bilang dulu sama aku, istrimu..”
Suami : “Istriku.. nikah itu ibadah, kalau aku bilang-bilang itu namanya Riya, dan itu nggak boleh..”
Hehe.. suami banyak alasan. Begitu kira-kira kita menyimpulkan. Dari cerita di atas ada satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa menikah itu memang ibadah. Tetapi bukan seperti cerita di atas yang dimaksud. Yang harus kita pahami terkait pernyataan bahwa menikah itu ibadah yakni pernikahan itu merupakan sesuatu yang sangat sakral. Sesuatu yang sangat suci.
Sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa menikah adalah perintah Tuhan. Karena itu, seseorang yang melaksanakan pernikahan pada dasarnya dia sedang melaksanakan atau menaati perintah Tuhan. Oleh karena itu seseorang yang menikah dengan motivasi untuk beribadah kepada Tuhan maka dia akan berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk mempertahankan perjanjian suci tersebut sebaik mungkin apapun masalah yang akan dihadapi.
Kalau kita bertanya kepada orang-orang yang sudah atau akan menikah apa harapan mereka setelah menikah? Jawaban yang paling umum adalah ingin membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, ingin membentuk keluarga yang bahagia.
Namun berapa banyak orang yang berhasil dengan visi mereka dalam membangun rumah tangga yang bahagia? Masih sedikit. Kebanyakan adalah bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan penderitaan, siksaan, tekanan batin, stress, dan yang lainnya. Singkatnya, pernikahan mereka tidak melahirkan kebahagiaan.
Mengapa terjadi demikian? Salah satu jawabannya adalah bahwa pernikahan yang dilakukan kebanyakan orang tidak diniatkan untuk ibadah kepada Tuhan. Kebanyakan orang melakukan pernikahan hanya karena dorongan rasa suka semata, kebanyakan orang menikah karena ingin memiliki dan melanjutkan keturunan, kebanyakan orang menikah hanya untuk menyalurkan dorongan sahwat semata.
Lalu kenapa, apa ada yang salah? Tentu saja tidak. Karena semua tujuan-tujuan di atas tidak ada yang salah. Malah sebagian tujuan pernikahan adalah seperti yang disebutkan di atas.
Saya hanya ingin mengingatkan saja bahwa motivasi kita menikah hendaknya semata untuk ibadah. Adapun yang lainnya adalah sebagai ‘sampingan’ saja. Artinya semua tujuan-tujuan pernikahan itu –dalam kondisi normal-- dengan sendirinya akan didapatkan.
Kalau dalam kondisi tertentu? Apakah kita masih tetap bisa mempertahankan pernikahan? Misalnya, kita menikah karena memiliki tujuan untuk menyalurkan hasrat biologis kita kepada pasangan kita. Tetapi dalam perjalanannya, pasangan kita tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual kita. Entah karena penyakit atau karena musibah yang lainnya seperti kecelakaan, apakah kita masih bisa bahagia dengan pasangan kita? Kalau tujuannya hanya sekeadar untuk itu, maka saya yakin tidak akan bisa kita mempertahankan biduk rumah tangga.
Contoh lain, ketika rumah tangga yang kita bangun karena mengharapkan hadirnya malaikat-malaikat kecil yang imut dan lucu dalam keluarga kita. Namun ternyata, Tuhan belum memberikan kepada kita buah hati yang kita idam-idamkan hadir di tengah-tengah rumah tangga, apakah kita masih bisa bahagia dengan pasangan kita? Kalau niatnya hanya karena ingin punya keturunan bisa dipastikan ketidakhadiran buah hati bisa menjadi penyebab retaknya rumah tangga.
Namun demikian, di sekeliling kita masih banyak kita saksikan pasangan suami istri yang masih bisa merasakan bahagia, masih harmonis, penuh rasa syukur walaupun beberapa tujuan dari berumah tangga tidak ia dapatkan. Sebaliknya, banyak juga terjadi keretakan rumah tangga berawal karena tidak tercapainya beberapa tujuan yang tadi disebutkan.
Apa yang membedakan? Motivasi menikah karena ingin beribadah, itulah yang membedakan. Ketika kita menikah dengan tujuan untuk beribadah maka kita pun akan merasa bahwa semua yang hadir dihadapan kita adalah anugerah dari Tuhan yang harus kita syukuri dan kita jaga. Dan ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita, maka kita pun menerimanya dengan lapang dada.
Ketika mindset seperti ini yang kita kembangkan maka saya yakin apapun permasalahan rumah tangga bisa kita selesaikan dengan baik, kita tetap bahagia apapun keadaan yang terjadi dengan keluarga kita, dengan pasangan kita. Jika kita ingin menikah untuk bahagia, bukan untuk menderita, maka jadikan semua aktivitas rumah tangga kita, jadikan motivasi pernikahan kita, untuk beribadah kepada Tuhan semata.
Cibungbulang, 9/01/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H