Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (selanjutnya penulis singkat TA) bukan kebijakan yang asing bagi Indonesia. Negara ini sudah empat kali menerapkan kebijakan serupa yakni pada tahun 1964, 1984, 2008, dan 2015. Termasuk pula yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yaitu RUU Pengampunan Pajak yang jika diketok palu tanda setuju, akan mulai berlaku per Februari 2016. Terlepas dari latar belakang dan tujuan jangka panjang penerapan TA, kiranya tidak ada lagi keraguan bahwa salah satu tujuan utama dari TA itu sendiri adalah mengerek penerimaan pajak yang seret dan tidak pernah mencapai target.
Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2004- 2015 secara rata- rata Direktorat Jenderal Pajak hanya mampu mencatatkan pencapaian penerimaan pajak sekitar 95,59% (masih kurang dari target yang ditetapkan). Sehingga dari rahim ketumpulan kinerja itu lahirlah kebijakan TA. Pertanyaanya sederhana. Apakah harapan bahwa TA merupakan jalan keluar dari permasalahan tersebut, merupakan fakta atau sekadar mitor belaka?
Kepemimpinan, Politik, dan Pajak
Pajak, bagaimanapun krusial posisinya sebagai instrumen kebijakan ekonomi, tetap tidak bisa dilepaskan dari kepentingan banyak pihak. Termasuk politisi. Kepemimpinan menjadi penting dalam hal ini, kepercayaan yang baik antara sesama unsur pimpinan negara adalah modal untuk menciptakan kebijakan pajak yang kuat dan mengandung semangat kebersamaan. Mengacu pada apa yang terjadi di Afrika Selatan yang memulai upaya perbaikan administrasi perpajakan sejak tahun 1997 (melalui pembentukan South Africa Revenue Service/SARS) negara ini kemudian sukses mempertahankan performa sistem perpajakannya dengan menjadi urutan ke-3 (setelah Algeria dan Seychelles) dari daftar 10 negara di benua Afrika dengan Tax Ratio tertinggi, namun yang perlu dicermati disini adalah realita bahwa secara konsisten, termasuk ketika TA diberlakukan, keberadaan sosok Nelson Mandela telah menjadi pelopor rekonsiliasi politik di negeri tersebut dengan memberikan pengampunan kepada pejabat kulit putih yang pernah membuatnya mendekam di balik jeruji besi 20 tahun lamanya.
Terinspirasi dengan kebesaran jiwa seorang Mandela, TA yang dijalankan di negara itu mendapat sambutan hangat karena antara para elit dan warga negaranya sudah terbangun rasa saling percaya, memaafkan (rekonsiliasi), dan persamaan visi untuk membangun masa depan dengan semangat kebersamaan, dan menanggalkan semua cerita masa lalu. Artinya dalam hal ini, penulis hendak mengingatkan bahwa kehadiran peran politisi dalam kebijakan TA bukan suatu hal yang tabu, karena memang ditangan merekalah pada akhirnya kebijakan TA diputuskan. Terlebih jika TA yang dikehendaki berlandaskan UU yang melibatkan elit di tataran legislatif dan eksekutif.
Di Indonesia yang kini dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penulis melihat bahwa peluang itu ada. Ketokohan seorang Joko Widodo yang ditengarai memiliki modal sosial yang besar dapat dikapitaliasi menjadi semangat untuk memulai rekonsiliasi politik dan membuat batas yang tegas dengan masa lalu dan belajar dari kesalahan- kesalahan pemimpin terdahulu termasuk kesalahan di bidang tata kelola fiskal (perpajakan).
Pijakan yang digunakan untuk memulai semangat ini sebagaimana dinyatakan oleh Prastowo Yustinus dalam tulisannya yang berjudul “Quo Vadis Kebijakan Perpajakan Indonesia” (dimuat di harian KOMPAS edisi 12 Januari 2016) adalah dengan menyuntikkan visi Trisakti dan jalan Nawacita yang menyatakan untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan demi kesejahteraan rakyat, serta merumuskan turunan dalam program dan agenda aksi. TA merupakan unsur yang relevan dan koheren dengan semangat dan upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan, TA diberikan sebagai penanda adanya transisi sistem perpajakan, sebagaimana yang terjadi pada TA 1984 yang merupakan satu kesatuan dengan paket reformasi perpajakan saat itu yang melahirkan UU No 6,7,8 Tahun 1983 tentang KUP, PPh, dan PPN & PPnBM.
Pajak, dalam kaitannya dengan semangat TA, tidak bisa lepas dari kepemimpinan tokoh politik saat itu, tingkat keberhasilan TA sangat ditentukan dengan kredibilitas pemerintahnya dan otoritas perpajakan yang mengelolanya. Kepercayaan itu dimulai tentu saja dari kebesaran jiwa pemimpin yang duduk di pemerintahannya.
Persiapan Adalah Kunci
Penulis sendiri berpendapat bahwa TA bukan satu-satunya jalan keluar yang tepat atas kegagalan DJP dalam mencapai target penerimaan pajak yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P. Hal ini dikarenakan TA, kalaupun berhasil, hanya merupakan jalan pintas yang tidak mewariskan pondasi struktur kebijakan perpajakan yang kokoh dan berkelanjutan untuk generasi mendatang. Namun artikel ini tidak ditujukan untuk menentang TA, melainkan memberikan masukan bahwa persiapan adalah kunci utama yang dapat menjadi jawaban atas pertanyaan yang mengemuka bersama judul artikel yang penulis buat.
Persiapan yang penulis maksud dimulai dari salah satu kriteria yang disebutkan oleh Profesor Schlesinger (Pace University, New York) bahwa untuk dikatakan sebagai kebijakan perpajakan yang baik, maka harus terdapat estimasi penerimaan pajak yang dapat didulang melalui penerapan kebijakan tersebut. TA 1984 yang berlaku di Indonesia kala itu telah mengumpulkan tax revenue sebesar Rp67,8 Miliar dari total penerimaan negara tahun 1985/1986 Rp6.616,9 Miliar atau sekitar 1,02% nya saja. Sementara TA 2008 (Sunset Policy) berhasil menyumbang sekitar 15,2% dari target yang tercapai. Adapun untuk TA 2015 (Reinventing Policy) sejauh ini belum ada rilis berita resmi dari Direktorat Jenderal Pajak mengenai angka yang terkumpul. Sehingga program TA yang baik seharusnya sudah memperhitungkan besaran target yang bisa diraih melalui pemberlakuan kebijakan tersebut.