Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pajak dan Indeks Kedalaman Kemiskinan

6 Januari 2016   15:18 Diperbarui: 24 Desember 2016   13:07 27075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta, mencuci pakaian di aliran Sungai Ciliwung yang keruh dan penuh sampah. (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)

Kemarin (05 Januari 2016), Kompas menyuguhkan kita berita yang cukup menyengat perasaan. Berita itu menempati halaman pertama dengan judul “Pembangunan Tidak Capai Target” disertai sebuah grafik yang menggambarkan adanya peningkatan angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2015. Ada perasaan murung yang menyelimuti suasana hati penulis saat membacanya.

Bagaimana tidak, ada banyak angka indikator yang menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk negara ini yang belum dapat menikmati manisnya kemerdekaan dan pembangunan. Beberapa di antara angka indikator itu adalah angka kemiskinan yang meningkat, pengangguran yang bertambah dan Rasio Gini yang juga semakin lebar. Angka-angka yang membuat miris itu terjadi saat pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp. 1.793,6 triliun. Ironis.

Ironisnya lagi, berita tersebut diturunkan tak lama setelah euforia penerimaan negara dari sektor pajak menembus angka Rp. 1.000 triliun. Tentu apresiasi yang tinggi tetap layak ditujukan kepada Ditjen Pajak dan Kemenkeu atas prestasinya itu karena memang tidak mudah untuk mengumpulkan uang pajak sebesar itu di saat situasi ekonomi regional dan global sedang melambat. Namun angka Rp. 1.000 triliun itu ternyata belum bisa berbicara banyak dalam rangka mengamankan pembangunan pemerintah, yang di antaranya adalah untuk mengurangi jumlah kemiskinan dan memperkecil jurang ketimpangan kesejahteraan masyarakat.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index/P1) menunjukkan angka yang semakin tinggi. Pada September 2015,  indeks kedalaman kemiskinannya mencapai angka 1,841, meningkat dibandingkan September 2014 sebesar 1,751. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh pula pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Artinya, semakin banyak penduduk Indonesia yang kesulitan untuk hanya memenuhi kebutuhan dasarnya saja (secara layak).

Itu juga yang mungkin memicu para buruh sering menggelar demo, karena jumlah nominal gaji yang mereka terima semakin lama semakin turun nilainya, meskipun sudah terbit kebijakan yang mengatur kenaikan gaji setiap tahunnya. Sederhananya, dengan nominal 2 juta rupiah pada tahun lalu, akan berbeda nilainya pada waktu sekarang (present value), meski nominalnya masih sama-sama 2 juta rupiah.

Pada tahun lalu, misal dengan gaji Rp. 2 juta yang diterima, boleh jadi seorang buruh akan mampu menutup banyak kebutuhan sehari-harinya. Namun gaji Rp. 2 juta tersebut di waktu sekarang ini sudah tidak bisa mencukupinya lagi. Uang sebesar Rp. 2 juta itu present value-nya sudah berubah. Penulis khawatir, jangan-jangan sebenarnya tidak hanya buruh saja yang ingin melakukan hal serupa (demo), karena mereka menghadapi beban yang sama. Namun mereka menumpahkan kegalauannya dengan cara berbeda.

Beberapa bulan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia paling rendah dibandingkan negara lain sesama anggota ASEAN.

"Kita tuh paling rendah. Pertama Singapura, kedua Malaysia, ketiga Thailand, dan keempat Filipina," ujar Rizal Ramli di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Kembali ke soal euforia Rp. 1.000 triliun di atas. Penulis ingin mengingatkan bahwa angka Rp.1.000 triliun tersebut sesungguhnya masih belum memenuhi harapan negara, karena target yang diamanahkan adalah sebesar Rp. 1.294,7 triliun. Kegagalan pencapaian target itu tentu akan menyisakan persoalan tersendiri, karena penyelesaian atas selisih kurang yang timbul akan ditutup dengan utang (lagi).

Utang akan menyebabkan penurunan nilai rupiah, dan penurunan rupiah mempunyai andil yang besar dalam menyeret angka kemiskinan menjadi semakin dalam. Jadi, kegagalan pemerintah dalam memungut pajak untuk mendanai pembangunan, akan berbanding lurus dengan indeks-indeks kegagalan pembangunan, yang diantaranya adalah meningkatnya jumlah penduduk yang (semakin) miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun