Apakah bapak sudah mendengar kritik dari Pak Rizal? Jika masih kurang, saya ada lagi nih Pak. Kritikus ini masih muda dan mantan wartawan, namanya Dandhy Laksono. Setiap hari bung Dandhy aktif memberikan cuitan terkait kebijakan bapak maupun pembantu bapak. Bahkan melalui kanal yotubenya, Bung Dandhy membuat banyak konten menarik yang isinya tentang tabir buruk kebijakan pemerintah di daerah-daerah yang selama ini luput dari layar kaca.
Masih kurang pak? Tenang, saya masih punya banyak stok. Nama orang ini sudah melambung kemana-mana, dan dikenal dengan slogan "akal sehat". Yap, tidak lain tidak bukan dia adalah Rocky Gerung. Dalam  panggung-panggung debat politik, RG kerap kali membungkam para juru bicara pemerintah sampai tak berkutik, tik, tik...
Sudah ada tiga tokoh yang saya sebutkan. Bilamana presiden jokowi dan seskab masih juga merasa kurang, saya akan kasih bonus. Beliau adalah Kwik Kian Gie, seorang tokoh terpandang serta senior politik dari Presiden Joko Widodo dari PDI-P. Beberapa hari yang lalu Pak Kwik memberikan alternatif pandangan tentang ekonomi serta meladeni salah seorang staf khusus menteri.
Nama-nama besar diatas merupakan satu dari sebagian besar orang-orang Indonesia yang aktif memberikan kritik kepada pemerintah. Isi-isi kritik mereka pun sangat bernas dan layak untuk dijadikan suluh perubahan. Hanya sayangnya, permasalahan di negara kita saat ini ialah kita tidak kekurangan kritikus atau esensi maupun subtansi dalam setiap kritik, tetapi kita sedang berhadapan dengan tembok tebal yang dibungkus dalam balutan peraturan.
Saat orang-orang sudah mulai kritik, entah itu melalu media sosial, tulisan opini atau video dokumenter, mereka malah mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Sudah sering pak pres, kita melihat bagaimana aksi-aksi demonstrasi mahasiswa harus dibubarkan polisi. Para aktivis kampus ketakutan di drop out rektor saat mereka mulai menalarkan isi kepalanya.
Dijalan, sering kita melihat para mahasiswa dipukuli hingga berujung tewas. Semoga kita masih ingat mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara yang meninggal dunia setelah dihabisi oleh oknum. Orang tuanya yang baru pulang dari laut kaget sekaligus terharu melihat anaknya telah terbungkus kain kafan dan siap untuk dikuburkan.
Tidak sampai disitu, para kritikus kita juga sering mendapat teror dan ancaman pidana melalui UU ITE. Begitu kritik diucapkan, polisi berpakaian lengkap sudah dalam perjalanan menjemput yang bersangkutan. Syukurnya, masih ada orang-orang baik yang menjamin mereka. Kasus ini pernah terjadi pada Dandhy Laksono, kala itu tokoh 98 Budiman Sudjamitko menjadi penjamin dan bang Dandhy Laksono akhirnya bisa lepas dari kasus tersebut.
Selain mendapat ancaman sengketa pidana dan aksi represif dari Polri, para penabur kritik juga sering diserang oleh pendengung rupiah alias buzzer. Buzzer telah sangat meresahkan dan menggangu kelangsungan hidup demeokrasi kita. Bu Susi pernah menjadi sasaran tembak buzzer di twiter, selanjutnya Pak Kwik pun juga sama.
Serangan buzzer kepada para kritikus ini malah sangat berbahaya. Komentar yang mereka berikan sangat tidak pantas dan menyentuh ranah privasi. Om Kwik ketakutan atas buzzer yang mengodal-adil kehidupan pribadinya. Lalu Natalius Pigai yang menjadi korban rasialisme karena ikut mengkritik salah satu pembantu presiden.
Gambaran kusam iklim penyampaian pendapat dinegeri ini masih menjadi masalah pelik yang belum kelihatan jalan keluarnya. Kritik memang bisa menjadi suluh kebijakan yang lebih baik kedepan, namun bila untuk mau kritik saja, orang-orang sudah merasa ketakutan dan dikekang oleh jerat undag-undang, maka yang terjadi ialah antipati terhadap kritik itu tersebut.
Ajakan atau sekedar igauan pemerintah agar masyarakat aktif memberikan kritik yang terbuka, keras dan pedas akan menjadi ironi semata bila sengketa diatas belum mampu untuk diatasi. Pemerintah seharusnya bisa menciptakan ruang yang aman bagi mereka. Saling lapor dan beradu atas nama ujaran kebencian harus bisa ditindak secara bijaksana dan tidak berat sebelah.