Penyelenggaran pemilu yang serentak ternyata juga memiliki masalah lain. Pada tahun 2019, ketika Pilpres dan Pileg diadakan bersamaan oleh KPU, banyak anggota KPPS yang bertugas jatuh sakit dan meninggal. Faktor yang menyebabkan kematian ini disebabkan oleh kelelahan yang dialami oleh petugas sewaktu menghitung surat suara, sebab pemungutan dan perhitungan hanya dilaksanakan dalam waktu satu hari.
Kekosongan kepemimpinan yang terlalu lama membuat demokrasi dan kehidupan politik didaerah ikut terciderai. Posisi strategis yang seperti ini akan mengundang bala bila dibiarkan berlarut-larut. Potensi-potensi kepemimpinan dan kemampuan organisasi didaerah pun juga akan menurun. Menunggu hingga tahun 2024 adalah waktu cukup yang lama.
Bayangkan bila pemilu yang demikian ketatnya itu terjadi pada waktu yang sama dan terulang lagi. Pemungutan dan perhitungan suara pasti akan diberikan waktu yang cukup lama. Dan apakah akan memakan korban lagi bila pemilu dilakukan secara rombongan dan keroyokan.
Sikap istana yang menolak revisi UU Pemilu ini tentu harus kembali dpikirkan. Demikian pun oleh sikap anggota di senayan. Bila DPR RI setengah hati dalam merevisi UU Pemilu, seharusnya perlu dilakukan ramuan kebijakan yang setidaknya bisa mengimbangi kontestasi politik dimasa pandemi seperti sekarang dan mengindari pemilu secara rombongan.
Perubahan arah angin dari Nasdem dan Golkar, yang semula menyetujui dan kini menolak adalah bukti politik setengah hati dari Nasdem dan Demokrat. Seharusnya revisi UU ini bisa dijadikan momentum dan sarana untuk memutus arogansi partai kerkuasa. Bila saja politik transaksional ini mau dijalankan oleh Nasdem dan Golkar, Anies maupun Ridwan kamil akan tersenyum lebar.
Urgensi lain yang bisa diperjuangkan dari terbukanya revisi UU ini ialah negosiasi ambang batas pencalonan presiden dan parlemen. Ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi adalah hambatan yang dialami oleh beberapa parpol untuk mendapat panggung kontestasi politik. Apakah perlu diubah dan jika akan diubah berapa ambang batas yang diperlukan apakah 20 persen ataukah 25 persen?
Bila ambang batas pencalonan presiden diturunkan, maka masyrakat akan disuguhkan oleh calon presiden yang lebih banyak, bisa tiga atau empat orang pasangan calon. Selain itu, polarisasi politik seperti yang terjadi pada tahun 2019 Â silam lebih bisa diminimalisir. Sehingga corong-corong suara dan alternatif kekuasaan akan saling tarik menarik dan tawar menawar.Â
Revisi atau tidak merevisi UU pemilu atas dasar pandemi juga perlu dibicarakan. Bila tahun 2020 kemarin  pemerintah mengizinkan pelaksanaan pilkada, mengapa tahun 2022 dan 2023 tidak? Apakah istana dan partai berkuasa sedang merencanakan sesuatu? Ataukah jangan-jangan politik kekuasaan sudah menjadi alat untuk meredam suara di Senayan?Â
Partai politik sepertinya telah menjadi tawanan kekuasaan politik dari kekuasaan istana. Cengkaraman ini harus dilepaskan agar warna dan dinamika politik semakain merangsek naik. Bila politik setengah hati terus menerus dipelihara, maka iklim kemajuan berpolitik kita sedang dalam posisi mundur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H