Kenapa orang indonesia selalu mempromosikan batik, reog atau ritus bangsa kita yang lain? Tetapi mengapa korupsi tidak? Padahal korupsi adalah budaya bangsa kita yang paling mahal. Itulah penggalan kalimat budayawan terkenal, Sujiwo Tejo.
Korupsi telah mendarah daging ditubuh bangsa ini. Satu demi satu, politisi berposisi maupun oposisi pelan tapi pasti akan mengisi ruang-ruang jeruji karena korupsi. Tidak kah kita miris dan pesimis? Mereka berbaju agama, berpakaian putih nan bersih, berseragam rapi dengan hati penuh tipu, mencuri dan menjarah ketika tak ada yang tahu. Adakah dari antara kita yang sadar diri, seorang ketua partai yang beridealisme religius dan moderat terindikasi korupsi? Saya kasih tahu, Namanya Romahurmuzi.
Pejuang Partai berlambang Kabah (PPP) ini pun juah terjerat kasus korupsi dan saat ini telah menjadi tersangka. Terlibat kasus suap jual beli jabatan dikementerian agama membuatnya mendekam sebagai tahanan KPK.  Sungguh ironi memang. Ditengah geliat bangsa ini berperang melawan rasuah melalui Revolui Mental ala Presiden Jokowi, para pejabat tinggi dan elite dipuncak juga berperang menyelamtkan diri sendiri dengan jatah dari suap maupun korupsi. Kita harusnya memberikan semacam perhelatan penghargan kepada mereka yang sudah korupsi dan memakan kata-kata sendiri. Nama acaranya saya usul : Koruptor Award. Kategorinya, Koruptor dengan Jumlah Hasil Korupsi Terbanyak, Korupsi Berjamaah Paling Bergensi,  dan terakhir Koruptor, Suap dan Lobi-Lobi . Sebut saja calon nominasinya  yaitu Luthfi Hasan Ishaaq,  Anas Urbaningrum, Surya Dharma Ali, Setya Novanto, Romahurmuzi, dan ... Kalian bisa tambahkan sendiri.
Kita tak perlu berharap banyak bahwa setiap minggunya KPK melakukan OTT ataupun pemanggilan karena kasup korupsi. Saya yakin KPK juga jemu melihat koruptor tak ada habisnya dinegeri ini.  Penanganan masalah korupsi di Indonesia memang butuh perhatian yang lebih sangat serius. Solusinya sudah benar yaitu revolusi mental disektor pendidikan dan penegakan hukum. Namun yang perlu dibenahi bukan hanya pendidikannya tetapi pengawasan dan transparansi pemerintahan yang sedang berjalan. Pendidikan antikorupsi  sejak dini harus terus dilanjutkan. Namun peluang untuk korupsi tidak boleh dibiarkan. Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden tidak boleh memberikan kesempatan kepada politisi yang punya tendensi untuk korupsi. Politisi yang korup dan menjadi bagian partai koalisi pemerintah seharusnya diberikan sanksi koalisi bisa berupa pemecatan dari kepengurusan partai atau pemberhentian pemberian jatah menteri atau jabatan lain dilingkup pemerintahan presiden. Setop bagi-bagi jabatan kepada mereka perongrong negeri ini agar anak cucu kita bisa terhindar dari budaya korupsi bapak-bapak negeri.
Revolusi mental jokowi telah tumpul keatas. Hanya berakhir ditataran diskusi dan warung kopi. Ada sambutan baik dimana  semangat ini digaungkan. Nyatanya saat ini Revolusi Mental telah menjadi warisan sejarah kampanye. Saya masih ingat betul jawaban Jokowi menngenai spirit revolusi mental. Beliau mengatakan bahwa "revolusi mental adalah sebuah keharusan. Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah dan bergotong royong. Ini adalah modal yang dapat membuat bangsa kita sejahtera.Â
Namun telah terjadi perubahan karakter bangsa dan tak ada yang bisa membendung anomali tersebut. Inilah akar munculnya korupsi, kolusi dan nepotisme". Â
Saya yang waktu itu menyimak acara tersebut cukup yakin dan percaya dengan gerakan pembaharuan ini walaupun faktanya cukup mengecewakan.
Dewasa ini satu demi satu politisi yang berada didekat lingkungan beliau juga masih ada yang mentalnya sakit walaupun berperawakan priyai. Beliau terlalu sibuk membangun infrastruktur didarat, laut maupun dilangit sehingga lupa dan kurang mawas diri, bahwa koruptor telah menyusup dipemerintahannya. Tak tanggung-tanggung, penyusupan ini dilakukan oleh orang yang mendukungnya baik dipemilahan maupun dipemerintahannya hingga saat ini.
Romi yang sebagai Ketua Partai bisa mengatur kursi-kursi jabatan di Kementerian Agama. Lalu kemana Sang Menteri? Sang Menteri yang juga vokal menyuarakan agama dimana-mana juga hanya bisa terdiam melihat sang ketua umum mengacak-ngacak tataran dilembaganya. Atau apakah beliau juga ikut dan terlibat didalamnya. Kita tunggu saja kelanjutannya. Namun yang saya yakini, Romi dan Jokowi sering berdiskusi. Tidak kah Jokowi mengingatkannya bahwa jangan ada korupsi diantara kita wahai rom(a)i?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H