Judul di atas tentu bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan, mungkin 20, 10, bahkan 5 tahun lagi bisa saja menjadi kenyataan. Uang kertas kini sudah semakin melemah eksistensinya digempur dengan perkembangan zaman dan teknologi, semakin memudar pamornya digilas uang elektronik.
Uang elektronik saat ini menjadi semakin populer, terutama di masyarakat perkotaan. Tidak perlu membawa uang kertas, hampir semua transaksi sudah bisa dilakukan secara cashless. Mau makan tinggal pindai, gesek, ataupun tempel. Sudah nggak zamannya lagi penjual makanan tidak punya uang kembalian.
Sering kan kalau kita mampir di warung kaki lima, apalagi kalau lapaknya pas baru buka, ketika tiba saatnya untuk membayar, eh si penjual tidak punya uang kembalian, diapun lari pontang-panting untuk menukarkan uang 'gede' yang kita bayarkan ke penjual lainnya, dan kita pun menunggu datangnya uang kembalian dengan penuh gerutuan. Itu sih pengalaman pribadi saya, hehe.....
Boro-boro kembalian Rp100, Rp200, atau Rp500, lha kembalian uang Rp1000 saja sudah sangat susah nyarinya, padahal Bank Indonesia masih terus menerbitkannya. Di toko retail modern pun, susah nyari uang kembalian 100 200 perak, sebagai solusi kadang ditawari permen, atau ditawari uang kembaliannya disumbangkan untuk program sosial jaringan toko retail tersebut.
Bahkan saking dermawannya si kasir kadangkala kembalian yang seharusnya Rp300 atau Rp400 digenapkan menjadi Rp500, atau kembalian Rp800 dan Rp900 kita diberi kembalian Rp1000, lha daripada dia harus kesusahan mencari uang receh atau takut nanti stok uang recehnya cepat habis, ya lebih baik rugi dikit, mungkin itu yang mereka pikirkan.
Hal yang cukup menggelikan mengingat toko-toko ritel modern tersebut memasang daftar harga belanjaannya sampai ke nominal puluhan rupiah, misal harga sebuah produk isi ulang sabun mandi kemasan 450 ml tertera Rp25.890,00. Apa nggak mumet tuh kasirnya kalau pembelinya bayar dengan uang Rp50 ribu dan saklek mintauang kembaliannya dikembalikan utuh Rp24.110,00 nggak mau lebih atau  kurang, haha......
Uang kertas banyak sekali kelemahannya yang harusnya bisa dielimininasi bahkan dihilangkan dengan keberadaan uang elektronik ataupun bentuk cashless transaction lainnya.
Pertama, biaya pencetakan, pemeliharaan/pengamanan, dan penarikan uang kertas cukup mahal, sangat tidak efisien. Biaya-biaya semacam itu sudah tidak relevan lagi di era globalisasi ini yang menuntut semua pihak serba efisien dalam  bisnisnya termasuk Bank Indonesia sebagai penerbit uang kertas.
Kedua, uang kertas sangat rentan untuk dipalsukan. Meskipun sudah mempunyai berbagai macam pelindung yang luar biasa, masih saja pemalsu uang menemukan cara untuk mengakalinya dengan membuat uang kertas yang hampir mirip dan susah dibedakan secara kasat mata dengan yang asli.
Ketiga, ketidakpraktisan dalam transaksi. Untuk transaksi dengan nominal yang besar, cukup berat/tidak praktis untuk membawa sejumlah banyak uang kertas. Belum lagi risiko keamanannya yang  seringkali membawa korban. Seringkali kita mendengar perampokan nasabah bank yang baru mengambil sejumlah banyak uang dari bank, bahkan sampai didor sampai tewas.
Keempat, untuk menyediakan dan memelihara ATM, Bank tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari pembelian mesin ATM yang mencapai ratusan juta rupiah, biaya listriknya, biaya satelit dan jaringannya, biaya pengisian dan pengamanan uang yang didistribusikan, biaya CCTV, dll yang tentunya biaya-biaya tersebut akan dibebankan kepada nasabah dalam bentuk biaya administrasi tiap bulannya.