Saham merupakan investasi yang menarik dan selalu menarik bagi sebagian orang yang menyadarinya. Waktu telah membuktikan bahwa investasi di pasar saham telah menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun, meskipun adakalanya di tahun-tahun tertentu, harga saham mengalami tren penurunan secara masif.Â
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia dari tahun 1998 s.d. 2018 telah mencatatkan kenaikkan sekitar 20 kali lipat. Coba kita bayangkan, jika uang kita Rp10 juta pada tahun 1998, menjadi sekitar Rp200 juta pada saat ini.
Itu simulasi jika kita membeli portofolio yang mengacu IHSG, padahal kenyataannya di lapangan banyak investor yang  membeli saham secara langsung, bukan dalam bentuk reksadana ataupun potofolio lainnya.Â
Misalkan seorang investor membeli saham BCA pada tahun 2000 dan menyimpannya sampai saat ini, maka nilainya naik sekitar 34 kali lipat, jika dimasukkan juga hasil dari dividennya maka peningkatan nilainya bisa sekitar 40 kali lipat.
Untuk melihat besarnya keuntungan yang terjadi, mari coba kita simulasikan. Jika pada tahun 2000 kita membeli sebuah HP mahal saat itu, misalkan Nokia Communicator seharga Rp10 juta, maka nilai HP itu pada saat ini mungkin sudah terdepresiasi sempurna alias nol rupiah.Â
Lain halnya jika ketika itu kita menahan gengsi untuk bergaya menggunakan HP canggih, tapi lebih mementingkan investasi untuk masa depan, misalkan dengan membeli saham Bank BCA senilai Rp10 juta, maka saat ini nilai-nya bisa sekitar Rp400 juta. Wow.... Ternyata pembelian barang konsumtif pada akhirnya menjadi tak berharga, tetapi dengan berinvestasi saham yang tepat akan sangat luar biasa peningkatan nilainya.
Investasi di pasar saham memang terbukti memberikan imbal hasil yang cukup tinggi, tetapi juga diimbangi dengan risiko yang tinggi pula sesuai konsep High Risk High Return. Tahun 2008 silam, dunia mengalami krisis finansial yang luar biasa hebat. Beruntungnya Indonesia tidak begitu terpengaruh karena sudah banyak belajar dari krisis ekonomi 1998, hanya pasar saham kita yang terguncang hebat karena kepanikan investor yang sebenarnya saat itu bersikap tidak rasional.Â
Mengapa tidak rasional, karena kondisi perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat itu sedang bagus-bagusnya dengan mencetak rekor-rekor baru laba bersih, terutama BUMN-BUMN kita.Â
Namun, karena kepanikan investor asing yang mencabut dananya dari pasar saham Indonesia menyebabkan harga saham 'berdarah-darah' selama beberapa beberapa bulan bahkan hampir setahun.Â
Kepanikan investor asing yang saat itu memang mendominasi pasar saham kita, sehingga aktivitas transaksinya mampu secara signifikan mempengaruhi harga pasar, disikapi secara berlebihan oleh investor dalam negeri dengan ikut-ikutan menjual sahamnya, harga saham pun jatuh bebas. IHSG turun sekitar 60% dari titik tertingginya. Saya ingat waktu itu portofolio saya tergerus sekitar 70%, Oh tidak......!Â
Banyak pula investor yang bunuh diri saat itu. Namun, orang yang sabar lah yang akan memetik keuntungannya. Investor yang ikut-ikutan panik dan menjual murah sahamnya pasti sekarang masih gigit jari, berbeda jika si investor tersebut sabar dan tidak mudah terpengaruh oleh arus, dialah yang akan menjadi pemenangnya.Â