Sudah Guru, PNS. di Jakarta lagi betapa enaknya!
Bagi saya, idealnya guru itu bukan aparatur dan atau bagian dari birokrat sehingga akan lebih mudah untuk berkembang. Apalagi, Birokrat (PNS) di negeri ini yang acap dimanfaatkan untuk kepentingan politik, dan proyek-proyek untuk rejim tertentu yang sedang berkuasa. Dengan sifatnya yang birokratis, kaku, imperatif dan monopolistik melengkapi keangkerannya. Imbasnya adalah seringkali kebijakan yang diambil di bidang pendidikan terkesan monopolis, birokratis, kaku, sarat kepentingan kekuasaan, dan angkuh; sukar ditembus oleh kritisisme dan perubahan.
Belum lagi fakta bahwa mayoritas ETOS dan ETIKA kinerja PNS kita yang rendah. Dari atas ke bawah, sama saja. Hingga menimbulkan distrust masyarakat kepada PNS! Tidak hanya Guru kita masih bisa lihat PNS pemalas yang berleha-leha dengan sanksi sekedarnya. Dalam hal ini, saya setuju dengan AHOK mengenai PGPS, bukan hanya untuk GURU saja tapi PNS secara keseluruhan, terutama dalam konteks Jakarta.
Untuk urusan pendidikan, sebaiknya perlu dikembalikan lagi pendidikan kepada Masyarakat. Terutama berkenaan dengan kurikulum dan SDM agar tercipta iklim persaingan yang sehat. Pemerintah harusnya berkonsentrasi pada pembangunan Sarana dan penunjang pendidikan saja, biar SDM pengajar bertarung secara elegan dan kompetitif. Tak perlu itu untuk PNS-PNS guru yang masih tak berubah etos kerjanya meski telah diberi limpahan insentif. Justru sikap pilih-pilih kerjaan - terutama lebih mementingkan pengurusan insentifnya daripada mengajar. Ini tak lain karena Kementrian Pendidikan kabarnya memberikan timbunan tugas administratif pendataan Guru. Belum lagi kenyataan bahwa daripada untuk memperkaya ilmu kebanyakan justru selain sifat konsumtifnya bertambah. Mana si PAHLAWAN TANPA TANDA JASA itu di Jakarta?
Di sisi lain, pendidikan swasta meskipun ada yang sudah sangat maju tak sedikit pula yang mengalami kemunduran dan kemerosotan mutu maupun jumlah murid. Kemunduran (mayoritas) pendidikan swasta itu justru karena kebijakan yang tidak progresif, melulu birokratis dan imperatif. Pemerintah dengan tanga besinya memaksakan kurikulum dan UNASnya. Dan, bahkan mungkin menafikan alternatif yang bisa dilakukan oleh swasta (non government) melalui regulasi-regulasi mereka yang kaku.
Untuk uruan sekolah negeri di kota besar terutama Jakarta, yang digelontor dengan dana yang besar justru kurang tepat sasaran. Jamak ditemui bahwa anak masyarakat menengah sampai pejabat yang notabene mampu justru berebut kursi di sekolah-sekolah negeri yang mestinya diperuntukkan untuk anak yang kurang mampu. Masyarakat tak mampu semakin terlindas dan tidak bisa mengakses pendidikan murah.
Tragisnya, anak yang kurang pintar, miskin pula, malah justru harus bersiap-siap mengeluarkan kocek untuk sekolah swasta! Keadilan untuk si miskin dan yang butuh bimbingan lebih dihisap habis-habisan. Bahkan oleh masyarakat sendiri itu dianggap persaingan yang lumrah untuk memeperbutkan kursi sekolah Negeri. Padahal bagaimana menjadi sebuah persaingan yang lumrah bila anak si miskin harus memikirkan perut sekaligus memikirkan buku, dan materi akademis lainnya, sementara anak yang dari yang lebih mampu hanya memikirkan akademis dengan kelebihan waktu dimanfaatkan untuk tambahan dan penunjang akademis lainnya.
Hal sebaliknya justru terjadi di Amerika, pendidikan jadi murah untuk anak si miskin, karena mereka yang mampu lebih menyukai sekolah swasta yang lebih maju, sementara sekolah negeri merawat anak-anak yang tidak mampu. Inilah pembodohan pendidikan kita dalam term Sekolah Publik (Negeri) dan Sekolah Privat (Swasta) masrakat yang mampu bahkan para pejabat banyak yang tanpa malu-malu menyekolahkan bahkan memaksakan anaknya di sekolah negeri, yang artinya memangkas habis hak anak tak mampu.
Dalam hal ini Pemerintah bisa berupaya menyediakan gedung dan LELANG Guru dengan limpahan honor yang memadai untuk mengisinya. Dengan penghasilan yang besar dan tanggung jawab yang besar; Guru yang mengajar di sekolah Negeri bisa ditegur bahkan diberhentikan bila tidak lagi punya kemampuan yang baik. Sedangkan untuk sekolah Swasta dengan sendrinya mereka akan menciptakan ruang yang lebih kompetitif dan berkomitmen penuh untuk kemajuan pendidikan, karena bila tidak demikian mereka akan ditinggalkan oleh konsumennya. Tak perlu membuang duit triliunan mePNSkan mereka yang SDM dan etos kerjanya yang rendah.
Tak perlu menghamburkan uang untuk serapan dana proyek-proyek yang tidak jelas. Kurangi birokrasi, dan tata kelola yang njlimet agar Gurulebih berkonsentrasi dalam Pendidikan dan Pengajaran, daripada sibuk mengurusi administrasi untuk pencairan insentif. Sementara di bidang kurikulum pemerintah menyiapkan standard paling dasar yang secara teknis mengawasi arah dan mutu pendidikan. Biarkan masyarakat melalui sektor privat bersaing untuk pendidikan yang lebih baik, dan tugas pemerintah menyediakan tempat bagi mereka yang tak mampu. Hal ini akan memajukan atmosfir pendidikan, daripada upaya 'membirokratiskan' dan menyeragamkan pendidikan yang sarat proyek ekonomis dan muatan politis seperti saat ini.
Terlepas dari ide yang masih sangat konsepsional ini, SALUT saya untuk Guru diluar sana yang bekerja di tempat terpencil! Anda sebenarnya yang patut diapresiasi!
***
Artikel Rujukan:
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/01/01/ahok-paling-enak-guru-pns-dki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H