Dari masa ke masa, masyarakat punya beragam konsep tentang hakikat seorang anak dalam konteks pendidikan. Ada yang mengumpamakan anak seperti ranting pohon yang lentur, bisa ditekuk ke sana kemari semasa mudanya, sebelum menetap lurus atau bengkok di masa tuanya  ada juga yang memandang anak seperti kertas putih polos, siap ditulisi apa saja oleh orangtua dan gurunya. "Sangat mungkin demikian; tapi seorang anak lebih daripada itu semua. Satu sosok yang sebetulnya milik Dia yang sama sekali lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Menurut Charlotte Mason, seorang anak bukan sekedar ranting untuk dibengkak-bengkokkan, bukan sekedar kertas kosong untuk ditulisi, sejak lahirnya ia adalah satu pribadi yang utuh.
Sejak Yunani kuno, manusia umumnya dilihat sebagai unit dari kingdom animalia. Manusia adalah binatang dengan berbagai predikat, kata Aristoteles- binatang yang beradap, binatang yang mampu mengumpulkan pengetahuan, binatang yang berjalan di atas dua kaki, binatang yang berpolitik. Filsafat skolastika meneruskan tradisi ini dengan mendefinisikan manusia sebagai binatang yang paling pandai meniru-niru.
Ada pula konsep modern yang kita hirup di era industri bahwa manusia itu mesin. Adalah La Mattrie (1709-1751) dalam L'Homme machine yang pertama kali mengajukan pendapat bahwa proses kejiwaan manusia itu tak lebih dari kerja mekanis sebuah mesin. Relakah kita jika anak yang duduk di pangkuan kita itu dipandang sebagai objek atau komoditas belaka ?
Dalam ukuran mungkin ia kecil dan lemah, dari segi pengalaman mungkin ia hijau dan naif, namun sebagai pribadi yang berjiwa, seorang anak tiada beda dari kita orang dewasa. Sukakah kita jika pendapat kita tidak didengarkan? Sukakah kita jika semua langkah hidup kita disetir orang lain ? Sukakah kita jika kita dikatai "Bodoh dan Nakal" ? Jika kita tidak suka mengapa kita pikir anak-anak boleh diperlakukan seperti itu ? Jiwa anak bisa berpikir dan merasa, ingin menjadi mandiri dalam memilih dan bebas mengekspresikan diri, ingin dicintai dan bebas dari ketakutan, semuanya sama seperti kita orang dewasa. Sayangnya kita sebagai orang tua ataupun guru lupa tentang hal itu.
Dalam ketidaksabaran kita lupa bahwa anak punya selera,hasrat dan opini tersendiri. Kepribadian adalah fitur yang membuat seorang manusia menjadi manusia sebagai satu pribadi berarti melihatnya sebagai sesuatu yang Takan terulang lagi. Â Tidak ada duplikatnya, tak mungkin hadir pengganti lain yang bisa menjadi persis seperti dia.
Memandang seorang anak menjadi satu pribadi berarti memandangnya sebagai bukan produk pasaran, bukan sekedar angka dalam statistik, namun ia sangat unik. Bukan hanya unik, tiap anak juga istimewa. Pada dirinya kita menjumpai misteri makhluk bermana "manusia". Potensi yang tersimpan dalam pribadinya itu tanpa batas dan tak teramalkan.
Seorang bayi manusia bisa menjadi Albert Einstein yang mengguncang dan mengubah dunia, seekor bayi sapi selamanya akan tetap menjadi sapi. Anak yang sedang bersama kita sekarang adalah sosok yang, kata Alkitab dahsyat dan ajaib. Itu sebabnya filsuf Abraham Joshua berkata, " teka-teki manusia sesungguhnya bukan 'apakah dia?' melainkan ' bisa menjadi apakah dia kelak ?'Â
Sehingga memanusiakan manusia bukan sekedar mengaktualisasikan potensi-potensinya, namun pertama-tama mengakui potensi-potensi itu ada dan mengizinkannya muncul. Menempatkan anak di jalur yang tepat agar terwujud berbagai peluang yang tersimpan di dalam dirinya, itulah amanah setiap orangtua dan guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H