Potret perpolitikan Indonesia beberapa tahun terakhir menggambarkan bahwa, orientasi kekuasaan yang menjadi tujuan partai politik dalam menggencarkan agenda politiknya masih timpang. Tidak adanya keseimbangan antara etika dan ambisi mencapai kekuasaan membuat beberapa politikus pragmatis tehadap kondisi politik Indonesia.
Fenomena kader loncat, dan maraknya doktrin yang menyimpulkan tiada teman dan musuh abadi dalam politik adalah implikasi aksioma tersebut. Mungkin kita tidak akan habis pikir terhadap apa yang dilakukan anas urbaningrum. Sebelumnya berdiri seagai pilar partai demokrat, kemudian berubah arah menjadi ancaman internal paling berbahaya. Kemudian kita juga akan dibingungkan dengan gaya politik dua kaki ala partai PKS yang merupakan anggota koalisi partai penguasa saat penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak beberapa bulan lalu.
Dan bagaimana juga penjelasan terhadap sistem koalisi itu sendiri. Secara teoretis Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil. Prof. Yuzril ihza Mahendra mengatakan Koalisi tidak dibutuhkan karena presiden tidak bertanggung jawab terhadap parlemen. Baik parlemen maupun presiden tidak dapat mempengaruhi satu sama lain. Oleh karena itu tidak diperlukan sebuah kesepakatan fraksi dalam parlemen untuk memberikan mosi percaya pada presiden untuk tetap melanjutkan agenda pemerintahan.
Lalu jika memang demikian filosofi dan setting dari koalisi, kira-kira apa tujuan dari bentuk koalisi ala rezim pemerintah saat ini, apakah koalisi dibentuk untuk membentuk suara di parlemen guna meloloskan proyek titipan? Atau koalisi dibentuk sebagai pembulatan suara di parlemen sebagai pihak legislasi untuk melanggengkan kekuasaan?
Hukum dan Politik
Di negara hukum, pelaku politik dalam mencapai tujuannya, haruslah meracik strategi dengan cara apapun. Cara utama untuk melakukannya dengan cara mempengaruhi  substansi hukum. Hukum yang disinggung dengan sentuhan politik akan menjadi sarana untuk mengarahkan objek ke tempat sasaran.
Bahkan seorang sarjana Belanda pernah mengatakan. Hubungan antara hukum dan politik itu ibarat tulang dan daging. Hukum sebagai tulangnya, dan politik sebagai dagingnya. Artinya dalam mewujudkan suatu tujuan (politik) harus didahului oleh kerangka hukum.
Secara ideal dalam penerapannya tujuan tersebut dapat memberikan hal yang bersifat positif dikarenakan moral etika pelaku politik mendominasi disetiap lini pemikirannya. Akhirnya apa yang dilakukan oleh seorang pelaku politik sebagai manusia yang mampu mengontrol etikanya memberikan kemanfaatan secara kolektif untuk mencapai kebaikan hidup bersama yang pada gilirannya berakibat terciptanya suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Hal ini yang dinamakan Peter Mekl sebagai sebaik-baiknya bentuk dari politik.
Namun disisi lain, kolaborasi antara hukum dan politik juga dapat berdampak kepada perebutan kekuasaan dan kedudukan. hal tersebut biasanya akan dilakukan dengan persekongkolan politik, penipuan dan pemalsuan suasana sosial. Semuanya dilakukan karena insting untuk menunjukkan diri sebagai entitas makhluk dengan segala kerakusan dan ketamakan lebih kuat daripada etika si pelaku politk. Hal ini yang dinamakan Peter Mekl sebagai bentuk politik yang paling buruk.
Dimensi etika dan kekuasaan bermain bebas di arena integrasi antara hukum dan politik. Terkadang etika mendominasi di sepanjang pertandingan, namun beda waktu kekuasaan lah yang hadir sebagai pemenang. Semuanya kembali terpulang kepada moralitas si pelaku politik. Idealisme yang dibangun harus kuat dan tetap dipertahankan. Rasa tidak enak hati, segan, egois, berikut dengan segala kolusi dan nepotisme yang ada akan membuat si pelaku politik berubah pragmatis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H