Menjadi pertanyaan besar bagi awam, mengapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi baru diterbitkan pasca tertangkapnya Akil Mochtar, sang ketua lembaga pengawal konstitusi. Padahal apabila latar belakang pemerintah mengeluarkan PERPPU adalah sebagai agresif step terhadap keadaan dan kegentingan yang memaksa, mengapa PERPPU tidak dikeluarkan beberapa tahun silam, disaat-saat ketika Mahkamah Konstitusi benar-benar berada dalam posisi nir pengawasan. Benarkah alasan pemerintah murni untuk menyelamatkan wibawa Mahkamah Konstitusi? Ataukah perilisan PERPPU merupakan siasat untuk mengamankan jalur menuju pesta demokrasi lima tahunan sekali.
Intervensi Bertajuk Diskresi
Dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Lantas apa yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa?
Mahkamah Konstitusi dalam positive legislature-nya, berdasarkan keputusan nomor 138/PUU-VII/2009 menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan kegentingan yang memaksa adalah terkait dengan 3 (tiga) hal. Salah satunya karena terjadinya kekosongan hukum dimana mengharuskan presiden untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
Berdasarkan pengetahuan saya, yg didapat dari konsiderans PERPPU terkait, dan beberapa pemberitaan di media, kekosongan hukum yang terjadi, karena Mahkamah Konstitusi minim pengawasan. Satu-satunya pengawasan yang ada hanyalah pengawasan internal berupa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan 5 orang, itupun baru terbentuk lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Itu artinya Mahkamah Konstitusi sudah cukup lama hidup dan berkerja dalam kebebasan memutus setelah kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi kinerja hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri dibatalkan. Meskipun secara yuridis undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, mengharamkan hal tersebut, karena bertentangan dengan asas bahwa setiap hakim diwajibkan untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya yang berkaitan dengan dirinya, kedudukannya, maupun keluarganya, namun semua tetap dieksekusi dengan dalih secara formil, setiap undang-undang sama.
Lantas, kalau keadaan genting dan memaksa itu sudah berlangsung cukup lama, mengapa pengawasan Komisi Yudisial tidak benar-benar dipulihkan lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Apakah ada kepentingan dibalik PERPPU MK tersebut, hingga terasa sedikit sulit jika harus melewati DPR mengingat terlalu banyak kepentingan ditubuh perlemen, sehingga mengharuskan pemerintah untuk meloloskannya melalui PERPPU dengan dalih untuk menyelamatkan wibawa Mahkamah Kontitusi? Secara sadar saya melihat tertangkapnya Akil Mochtar seakan-akan menjadi suatu pembenaran agar niat terselubung pemerintah yang tertuang dalam PERPPU dapat diterapkan.
Independensi Majelis Kehormatan
Beberapa tahun silam, tepatnya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ibarat pucuk-pucuk sinar mentari yang datang setelah terjangan hujan badai. Kehadiran Majelis Kehormatan merupakan win-win solution bagi semua pihak.
Namun, kendala pemerintah saat itu adalah tidak bisa secara utuh mengembalikan wewenang Komisi Yudisial untuk mengawasi kinerja Mahkamah Konstitusi, karena sebelumnya hal tersebut (wewenang KY dalam mengawasi MK) sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. dengan mengembalikan wewenang Komisi Yudisial tersebut, pemerintah akan dianggap menentang keputusan lembaga peradilan. karena pada dasarnya menurut Jhon Locke, kebijakan semua lembaga negara harus saling membantu dan menguatkan serta berada dalam satu pola kebijakan nasional. Namun disisi lain Mahkamah Konstitusi juga berada dalam kebebasan yang sangat luas dan tanpa pengawasan. Lord Acton dalam teorinya mengatakan kalau “absolute power tend to corrupt” (kekuasaan tak terbatas cenderung korup/ melampaui batas).Sehingga dengan keadaan seperti itu, harus memaksa pemerintah untuk melakukan terobosan hukum.
Dalam pasal 27A ayat (5) PERPPU MK, menyatakan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari 5 (lima) orang, 1 (satu) orang dari hakim Mahkamah Konstitusi, 1 (satu) orang praktisi hukum, 2 (dua) orang akademisi, dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Secara tekstual perumusan pasal tersebut terlihat objektif, namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana independensi dari kelima orang tersebut. Secara tegas memang mereka tidak terikat hubungan secara struktural administratif dengan suatu partai politik, namun apakah ada yang bisa menjamin kalau mereka juga tidak terikat hubungan secara emosional dan psikologis dengan partai politik tertentu.
Seharusnya sudah ideal apa yang dirumuskan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 berkenaan dengan keanggotaan Majelis Kehormatan. Dalam Undang-Undang tersebut dirumuskan yang menjadi anggota dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah 1 (satu) orang dari pihak DPR, 1 (satu) orang pihak pemerintah, 1 (satu) orang dari unsur Mahkamah Agung, 1 (satu) orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan 1 (satu) orang dari Komisi Yudisial. Dengan rumusan tersebut independensi secara kolektif Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat dipertanggung-jawabkan, karena pengawasan yang dimaksud berasal dari persetujuan bersama antar sesama lembaga negara.
Kalau keangotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi perspektif PERPPU akan rentan sekali terhadap isu kolonisasi. Karena dengan kewenanganya, lembaga ini akan menegakkan kode etik dan pedoman prilaku hakim konstitusi, serta mengawasi segala tindak tanduk Mahkamah Konstitusi dalam beracara.
Sehingga nanti, ketika partai opisisi ataupun masyarakat mengajukan gugatan terhadap undang-undang pemilihan presiden, undang-undang pemilihan legislatif, maupun undang-undang lain yang berhasil melewati halang badai di parlemen yang intinya berpotensi untuk melanggengkan kekuasaan, ataupun gugatan dan permohonan lain terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka majelis kehormatan akan secara otomatis memainkan peran untuk mengintervensi pendirian dari hakim konstitusi, dengan dalih kuat, yaitu untuk menegakkan kode etik dan pedoman prilaku hakim.
Akhirnya, pembuatan PERPPU tentang MK menurut saya agak sedikit dipaksakan, padahal secara tegas pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menuliskan bahwa “pengangkatan dan pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang” tidak dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Jika pembuatan PERPPU benar-benar dilandasi semangat untuk mengembalikan wibawa Mahkamah Kontitusi. Insyaallah agenda pemerintah untuk mewujudkan ketertiban umum dan kesejahteraan bangsa akan lekas tercapai. namun apabila niat dasar dibentuknya PERPPU dengan alasan politis, maka sesungguhnya kehancuran negara ini, tinggal menunggu hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H