Mohon tunggu...
Sony Gusti Anasta
Sony Gusti Anasta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islam dan Multikultur

30 November 2013   17:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinegara berkembang, banyak masalah yang dihadapi, permasalahan ekonomi pasti menempati urutan pertama, kemudian problem-problem macam politik, hukum, dan keamanan mengikuti dibelakangnya. Dari deretan permasalahan tersebut, permasalahan HAM yang tidak ditangani dengan segera akan menyebabkan disfungsi moral dalam sebuah politik hukum kebangsaan.

Permasalahan HAM dalam negara berkembang merupakan masalah yg sulit untuk dipahami. Lebih dari sekedar persamaan kedudukan, permasalahan ini juga ikut menyeret permasalahan eksistensi seorang manusia sebagai produk alam dalam sebuah negara.

Dinegara yang mempunyai banyak kebudayaan macam indonesia, dimana pemikiran HAM begitu jamak. Dan ide-ide pluralisme menyebar hingga keseluruh sektor kehidupan masyarakat. Tentu pemikiran HAM akan makin berbelit. Didalamnya becampur permasalah politik, hukum, ekonomi, sosial budaya yang semakin lama menngerus rasa toleransi dan atmosfir kehidupan berbangsa dalam keberagaman.

Masalah eksistensi, moral, gengsi, kecemburuan sosial, dan lain-lain berkumpul menjadi satu, namun dari kesemua premis diatas, akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan, sebuah fakta yang tidak bisa kita nafikan, bahwa sesungguhnya sektor dalam perbedaan tersebut mewakilkan apa yang biasa dinamakan multikulturalisme.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibungkus dalam multikulturalisme, satu konsep yang harus benar-benar dipahami adalah bagaimana cara kita ber-toleransi kepada orang-orang yang mempunyai pemahaman dan pemikiran atau bahkan aqidah yang berbeda dengan kita.

Dalam kertas konsep multikulturalisme dan segala akibat dan pengaruhnya mungkin agak sulit untuk dibayangkan. Secara terminologis ia abstrak dan berada dalam manifestasi pikiran masyarakat disuatu tempat. Contohnya dalam kehidupan beragama masyarakat hindu, sapi atau lembu merupakan binatang suci yang mewakilkan entitas dewa dimuka bumi, kalau boleh menganalogikan ia sama seperti tuhan di agama lain. Sapi begitu dimuliakan dan diperlakukan melebihi dari apa yang seharusnya hewan itu diperlakukan. Nah disisi lain agama islam mempunyai suatu rayaan keagamaan yang melibatkan sapi atau lembu sebagai objek, berbeda dengan hindu, sapi atau lembu dalam perayaan hari idul adha masyarakat muslim tidak dimuliakan atau diberikan kedudukan yang lebih dari seekor hewan, ia hanya merupakan salah satu makhluk yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hewan lain. Sapi atau lembu dipotong, dalam memperingati kisah Ibrahim dan Ismail as.

Memang secara objektif sangat sulit memetakan definisi dari toleransi, beda hukum, maka beda pengertiannya. Beda perspektif beda lagi definisinya. Persoalan sosio-politik bersumber hukum dianggap sebagai konsekuensi dalam hidup berbangsa dan bernegara, dilain sisi keharusan menyebarkan agama tuhan adalah tugas hidup yang tak bisa dikesampingkan. Benturan nilai-nilai dari kedua sistem hukum yang berbeda menimbulkan polemik multiperspektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk satu keputusan saja, banyak hal yang mesti dikaji dan dipertimbangkan. Dalam islam sebenarnya persoalan pluralisme dan keberagaman telah diatur. Al-Hujurat : 13 yang berbunyi “hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan kamu bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal”.

Oleh karena itu, apabila kita mau berfikir secara jernih. Pluralisme dan keberagaman dalam hidup merupakan hal yang sudah ditakdirkan oleh tuhan. Seharusnya keberagaman tersebut dapat menjadi properti kekayaan bangsa dan konsekuensi kitab agar kita saling kenal mengenal. Bukan malah membuat kita terpecah belah dan saling mendzhalimi.

Praktek-praktek Rasullulah ketika menjaga keromantisan hidup dalam keberbedaan cukup banyak jenis dan macamnya. Ibarat sepasang suami-istri, perbedaan yang ada menjadi pen-triggers atau impetus untuk lebih menghormati pasangannya. Walaupun dibeberapa kesempatan, cek-cok rumah tangga itu memang tidak bisa untuk dihindari.

Namun, atmosfir serta gaya kehidupan dijaman Rasullulah tidaklah sama dengan kehidupan yang kita rasakan saat sekarang ini. Indonesia yang mempunyai berbu-ribu miniatur bangsa diseluruh wilayahnya harus mencari asas-asas yang dipakai rasul dalam menyikapi ke-pluralisme-an. Asas-asas tersebut juga didasarkan kepada.nilai-nilai dan gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat setempat untuk waktu tertentu. Oleh karena itu, Rasullulah berkata, “bahwa urusan duniamu, engkaulah yang lebih mengetahui”.

Untuk kemaslahatan, islam telah menentukan tentang apa dan bagaimana seharusnya dilakukan. Untuk keseluruhan aspek, bahkan islam telah mengatur sedetil-detilnya, hingga hampir menutup kemungkinan untuk melakukan bit'ah atau pembaharuan dalam ibadah yang tidak mempunyai sumber yang kuat.

Islam mengatur dari kompenen-kompenen terkecil dalam satuan masyarakat sampai kepada persoalan hukum dan hubungan rakyat dengan negara. Persoalan HAM sendiri sebenarnya juga telah diatur walaupun penyebutannya bukanlah HAM. Berbeda dengan konsep HAM barat yang meletakkan manusia sebagai tolak ukur terdasar, dalam konsep HAM islam yang dijadikan tolak ukur terdasar adalah tuhan, Allah SWT. Jadi sebenarnya tidak ada yang dinamakan hak asasi manusia, yang ada hanyalah hak Allah, manusia terlahir dibumi membawa kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan. Jika adapun hak manusia seperti hak untuk memilih tempat tinggal dan hak meilih pekerjaan bukan didasarkan kepada asumsi pemikiran kebebasan yang ada pada manusia, melainkan karena Allah lah yg menginginkan itu semua.

Seiring berjalannya waktu konsep dan pemikiran antara HAM menurut islam dan HAM menurut barat beradu dibelakang layar. Karena ide pluralisme dan multikulturalisme yang begitu kuat, akhirnya HAM perspektif barat lah yang keluar sebagai pemenang. Konsep HAM menurut islam hanya diakui dan diberlakukan dalam ruang lingkup yang begitu sempit. Pembedahan HAM nenurut islam hanya berkutat pada sektor pernikahan, keluarga dan kedudukan wanita dalam satu sistem komunitas.

Aliran islam garis kelas yang sedikit bercorak konvensional begitu kuat menyerukan tentang kedudukan wanita dalam suatu sistem kehidupan. Ada yang mengatakan kedudukan wanita hanya sebagai pelengkap, segala sesuatu yang ingin dilakukan oleh seorang wanita mesti diketahui mahrom atau keluarganya. Seakan-akan ada intervensi yang berwujud kewajiban jemaah disana.

Jika seorang wanita, dilarang berkerja otomatis segala kebutuhan dan pemasukan hanya berasal dari sang suami. Perintah agama mengharuskan penggunaan uang harus melewati izin dari mulut dingin sang suami. Ketika saja wanita hendak bersedekah dengan meminta izin kepada sang suami berkonsekuensi pahala yang diterimanya akan tereduksi karena niat baiknya telah diketahui orang lain. Selain itu budaya untuk selalu bersikap demikian gampang terekam oleh sejarah dan mengajarkan hal tersebut kepada generasi setelahnya.

Ajaran yang mengharuskan setiap anak laki-laki muslim berkhitan juga dalam kajian multiperspektif mengijinkan berbagai komentar asing masuk dan mempengaruhi aqidah muslim. Bahkan ada yang mengatakan bahwa khitan sebagai budaya mutilasi yang berbungkus ajaran agama.

Banyak sekali permasalahan tentang multikulturalisme diberbagai belahan bumi nusantara. Dan yang paling menyakitkan mayoritas permasalahan tersebut berbungkus ajaran agama. Agama dan aqidah serta suku budaya dijadikan justifikasi, agama dijadikan pembenaran dalam mewujudkan suatu tujuan sehingga akar temu permasalahan tidak pernah menyatu.

Padahal jika ingin bersifat terbuka, hal yang dijadikan pegangan adalah suatu kesadaran moril bahwa sebenarnya kita terlahir dengan kemajemukan. Jika pesan ini tidak sampai dengan baik kepada masyarakat maka kekerasanlah yang akan ada, tuduhan penistaanlah yang akan tampil. Islam mengajarkan berdakwah kepada semua masyarakat muslim, "sampaikanlah walau satu ayat”, namun orang kristen bilang "sebarkanlah kabar tuhan kepada sekalian manusia". Prinsip-prinsip teologis semacam ini dalam masyarakat mutikulturalisme haruslah diseimbangkan dengan edukasi toleransi dalam masyarakat.

Permasalah sepele yang menjadikan agama sebagai justifikasinya telah banyak terjadi. Salah satunya kasus ambon. Kata pemimpin PP Muhammadiyah pusat, Din Syamsudin, kasus ambon jika ditarik sampai ke akar, sebenarnya hanyalah masalah sepele, masalahnya berawal dari seorang supir angkot yang menikam orang islam karena tidak membayar ongkos transport saat perayaan idul fitri. Permasalah seperti ini jika dikaji dan disterilisasi dengan tenggang rasa dan rasa toleransi yang tinggi dapat diselesaikan hanya  dengan kekeluargaan atau paling tidak ber-final dipihak kepolisian. Nah jika sudah dibungkus dengan jihad dan agama, permasalahan semakin besar dan melebar hingga kemana-mana buktinya sampai merenggut perpuluh-puluh nyawa, kerugian materiil puluhan juta, dan yang paling menyedihkan corengan permanen untuk wajah islam di Indonesia.

Seharusnya permasalahan ini dibicarakan dengan sematang-matangnya, diduduk kan dalam forum guna mencari sambungan tali yang putus agar dapat diikatkan kembali. Dialog multikultural haruslah diwujudkan guna menjaga keseimbangan satu-kesatuan kehidupan sosial. Din Syamsudin malah berharap akan ada penambahan satu dimensi baru, yaitu dialog lintas agama atau yang lainnya.

Dialog yang efektif dapat membantu menuju indonesia yang semakin maju, dialog agama tidak menyama-ratakan setiap agama. Sedapat mungkin meyembunyikan rasa chauvinisme dan menggantinya dengan mempertemukan nilai-nilai kemanusiaan. Dialog juga harus feedback, artinya tidak monolog.

Selain itu dapat juga dengan cara memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh pihak untuk berpartisipasi yang diwujudkan dengan benar-benar meminimalisir unsur-unsur diskriminasi semaksimal mungkin.

Dialog juga harus saling mendengarkan dan mengerti. Yang terpenting tujuan berdialog harus terang, tidak memaksa, dan tidak ada yang disembunyi-sembunyikan,. Dialog yang baik adalah dialog yang tidak memaksa lawan bicara untuk mengikuti semua yang kita opsikan atau not to prevent them. Hanya berusaha sedapat mungkin membuat lawan bicara mengerti.

Selain itu pendidikan multikultural juga mesti digalangkan dari kesatuan pendidikan yang paling dasar agar berguna menumbuh kembangkan rasa plural dan toleransi hidup dalam keberagaman.

Jika semua opsi tersebut diwujudkan, insyaallah gerakan menuju indonesia maju dan madani akan semakin lebih cepat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun