Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... Dosen - lecturer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita dan Warung Tetangga

11 November 2018   19:32 Diperbarui: 11 November 2018   20:19 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: InfoBisnis

Di manakah kita membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, pasta gigi, shampo, obat flu, sembako dan sebagainya? Bagi kita yang tinggal di kota pasti kebanyakan membelinya di toserba atau supermarket saat akhir pekan atau awal bulan, dalam bentuk belanja besar atau sedang. Kalau untuk kebutuhan mendadak dalam jumlah kecil atau satuan biasanya kita belanja di minimarket yang menjamur di mana-mana.

Di lain pihak faktanya banyak tetangga dekat di kampung atau komplek perumahan yang membuka warung atau toko kelontong dan sembako kecil atau sedang. Pernahkah kita memilih untuk belanja di warung atau toko mereka? Pasti kebanyakan dari kita akan menjawab jarang atau tidak pernah. Sebagian besar alasannya pasti karena lebih murah kalau membeli di toserba atau supermarket dan sekaligus jalan-jalan ngemall serta ngadem. Ada juga yang merasa tidak nyaman karena penataan barang dagangan di warung tetangga terkesan tidak rapi dan kotor.

Kita kadang tidak pernah berpikir bahwa, tetangga yang membuka warung kelontong tersebut sebenarnya membutuhkan penghasilan untuk kelangsungan hidup dan mungkin juga  untuk pendidikan anak-anak mereka. Bukankah akan sangat membantu kehidupan mereka apabila kita membeli kebutuhan kita yang kebetulan tersedia di warung mereka? Apalah artinya selisih harga 500 rupiah sampai dengan 1000 rupiah tetapi kita secara tidak langsung meringankan beban hidup mereka?

Demikian pula apabila ada tetangga yang membuka warung makan untuk kelangsungan hidup mereka, apakah pernah sekali waktu kita makan atau membeli  lauk-pauk di sana? Sama saja, pasti jawabannya tidak pernah atau jarang juga.

ilustrasi: InfoBisnis
ilustrasi: InfoBisnis
Padahal apabila masakannya pas dengan selera kita, tak ada salahnya kita membeli dagangan mereka. Selain itu pasti kadang-kadang kita tidak sempat memasak makanan sendiri atau membutuhkan lauk-pauk mendadak, maka warung makan tetangga bisa menjadi pilihan yang cukup baik. Tetapi kenyataannya kita enggan membeli makanan di warung tetangga dengan alasan kurang higienis lah, kurang enak lah dan sebagainya. Kemudian memilih membeli fast food atau masakan restaurant besar.

Sementara itu manakala tetangga yang membuka warung tersebut juga memiliki pohon buah, misalnya mangga, saat musimnya kita selalu mendapat pembagian meski tentu saja dalam jumlah sedikit. Kita mau dipahami dan menerima pemberian namun tidak memiliki empati dan tenggang rasa dengan kebutuhan mereka.

Saat ada dari kita yang menderita sakit dan bahkan meninggal dunia, siapakah yang peduli? Pasti tetangga kita dan termasuk mereka yang memenuhi kebutuhan hidup dengan membuka warung tersebut. Apakah para pemilik toserba, supermarket, mini market atau restaurant akan peduli dengan kesusahan kita?

Masalah makanan memang bisa dimengerti kalau kita memiliki selera yang berbeda maka kita tidak membeli di warung makan tetangga. Namun untuk kebutuhan sehari-hari seperti sembako dan kelontong, bukankah banyak yang sama antara yang dijual di warung tetangga dengan yang di supermarket?

Apabila alasannya adalah tentang penataan dagangan mereka, kita bisa memberi masukan agar mereka lebih rapi dan bersih dalam menata barang dagangannya. Sedangkan apabila alasannya ke supermarket untuk sekaligus rekreasi atau refreshing toh tetap bisa dilakukan dengan tetap memahami tetangga dengan membeli barang dagangan warungnya.

Di sinilah empati, tenggang rasa dan sikap adil kita ditantang. Memang uang-uang kita sendiri dan kita bebas untuk membelanjakannya di mana saja tetapi faktanya kita adalah makhluk soasial. Kita tidak hidup sendiri dan tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan kita sendiri. Adilkah kita memelihara ego kita dengan minta dipahami tetapi tidak pernah memahami?  

Kehidupan kita selalu dipahami dan acap kali dibantu oleh tetangga tetapi kita jarang atau bahkan tidak peduli dengan persoalan hidup mereka. Kenyataan yang sering kita alami bahwa terkadang  perhatian dan empati tetangga jauh melebihi perhatian saudara kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun