Mohon tunggu...
Sonta Frisca Manalu
Sonta Frisca Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - I'm falling in love

You are never fully dressed without a smile

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Horor Itu Bernama Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

6 Januari 2017   11:23 Diperbarui: 6 Januari 2017   11:29 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Pembicara dan Moderator Diskusi Publik Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Entah mengapa jika berbicara tentang kekerasan pada perempuan dan anak membuat bulu kuduk saya merinding. Mengapa? Karena tema ini lebih menyeramkan dibandingkan saat kemunculan Valax dalam film Conjuring II, bahkan saya merasa lebih woles menonton Suzanna yang meminta 100 tusuk sate  di malam Jumat Kliwon dibanding saat sedang mendiskusikan masalah ini di siang bolong di sebuah hotel berbintang. Menurut saya topik ini sungguh-sungguh horor, terhoror dari yang terhoror.

Cerita misteri Friday the 13th rasanya masih kurang horor jika dibandingkan dengan kisah predator Emon yang gemulai yang sukses luar biasa dan sungguh leluasa melakukan kekerasan seksual pada ratusan anak. Begitu juga dengan kisah anak TK JIS yang mengalami kekerasan yang serupa di sekolahnya. Kisah horor tersebut kemudian bercampur dengan rasa haru ketika ibu si kecil dengan sedihnya bercerita bagaimana sang predator sungguh telah merenggut kebahagiaan dan keceriaan si kecil dan kemudian menggantikannya dengan trauma luar biasa yang entah kapan bisa berakhir.

Wajah Kekerasan Perempuan dan Anak di Indonesia

Saya juga sungguh histeris ketika mengetahui seorang anak perempuan yang tewas mengenaskan  akibat infeksi penyakit kelamin yang ternyata ditularkan oleh ayah kandungnya sendiri. Ayah kandung tega memperkosa anaknya berkali-kali karena pada saat itu sang istri sedang alpa memuaskan nafsu seks suami karena sedang dirawat di rumah sakit.

Gila, dunia ini sungguh terlalu! Namun  saya masih percaya sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota. Saya baru sadar bahwa ungkapan tersebut sungguh usang ketika membaca sebuah berita tentang seorang ibu yang tega memukuli, menampar, dan menendang anak kandungnya. Tindakan tersebut dilakukannya sebagai aksi balas dendam karena ia sering dianiaya oleh suaminya. Sang bocah yang menahan sakit kemudian minta izin tidur pada  bundanya. Sebelum meletakkan tubuhnya ke kasur, dia berkata begitu sayangnya ia  pada bundanya dan akhirnya malaikat menjemputnya ke surga saat dia tertidur lelap.  Kisah horor yang mengharukan! Sebenarnya masih banyak cerita yang lebih horor dibandingkan kisah di atas.  

Anak Kerap Kali Menjadi Korban Kekerasan (www.freepik.com)
Anak Kerap Kali Menjadi Korban Kekerasan (www.freepik.com)
Namun kita lupakan sejenak hal tersebut. Mari kita beralih pada catatan KPAI, ada 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015. 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual dan sisanya sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiyaan, eksploitasi seksual, dan bentuk kekerasan lainnya. Jumlah kekerasan pada perempuan jauh lebih tinggi. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan, terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2015.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan kita? Mengapa kisah kekerasan masih bisa terjadi di sebuah negara yang sudah beradab? Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita baca Asinaria yang ditulis oleh Plautus pada 195 SM. Sesunguhnya sudah menjadi naluri bahwa manusia  memiliki sifat untuk  menguasai orang yang lebih lemah dibandingkan manusia itu sendiri, homo homoni lupus.

Manusia adalah serigala dari manusia lainya.  Jika pada zaman dulu, selalu ada perang untuk menguasai manusia lainnya. Di zaman modern ini, hal yang sama terjadi pula, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Dalam hal ini anak-anak dan kaum perempuan adalah golongan yang lebih lemah yang merupakan pihak-pihak yang paling potensial menjadi korban kekerasan dari manusia yang lebih kuat.

Di Indonesia sendiri, angka kekerasan pada anak dan perempuan meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut diungkapkan oleh Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang hadir menggantikan Ibu Mentri KPPPA, Yohana Yambisie, yang berhalangan hadir dalam acara Diskusi Publik Mengakhiri Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan yang dilaksanankan di Hotel Royal Kuningan pada Sabtu, 3 Desember 2016.

Fenomena ini menurut Beliau bisa jadi karena memang angka kekerasan pada anak dan perempuan meningkat atau bisa jadi karena kesadaran untuk melaporkan kekerasan pada anak dan perempuan yang meningkat. Apa pun kebenaran fakta di balik fenomena tersebut, ada pertanyaan besar yang mesti kita jawab bagaimana atau langkah-langkah apa yang mesti kita lakukan mengakhiri kekerasan pada anak.

Masalah Kita Bersama

Saya sungguh tergelitik dengan pertanyaan dalam kuesioner yang diberikan sebelum acara Diskusi Publik berlangsung. Salah satu  pertanyaannya adalah siapa yang mesti bertanggung jawab mengakhiri kekerasan pada anak dan perempuan. Serta-merta saya langsung mengambil pulpen dan menulis bahwa tiga pihak yang harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut adalah Pemerintah, Pemerintah, dan Pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun