Mohon tunggu...
Sonta Frisca Manalu
Sonta Frisca Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - I'm falling in love

You are never fully dressed without a smile

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Getirnya Manisan Pala, dari yang Tak Mau Mewarisi sampai "No Branding-branding-an"

22 November 2019   18:38 Diperbarui: 22 November 2019   18:45 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manisan pala tentunya tidak asing lagi bagi kita. Ada manisan basah dan juga kering. Kudapan ini mudah dijumpai, mulai dari mall, toko snack, sampai pusat oleh-oleh.

Aku pernah membawa manisan pala ini dari Bandung sebagai oleh-oleh. Eh ternyata manisan pala diproduksinya di Bogor. Baru tahu aku. Di sini ada sekitar 10-an orang pengrajin usaha kecil menengah yang sudah puluhan tahun memproduksi berbagai jenis makanan dan minuman dari buah pala.

Salah satu pengrajin buah pala tersebut adalah Ibu Oyok yang sudah merintis usahanya sejak tahun 1980-an.

Pengetahuan dan keterampilannya mengolah buah pala didapatkan dari orang tuanya. Karena merasa tidak memiliki bekal apa pun untuk bekerja dan menjalani bisnis lain, dengan uang 400 rb rupiah ibu ini memulai usahanya.

Dari hasil usahanya itu Ibu Oyok kini memiliki rumah 2 tingkat, yang bagian atasnya digunakan untuk memproduksi manisan pala dan juga sebidang tanah yang ditanami buah pala.

Manisan Pala  Tahan Lama hingga Satu Tahun
Usaha manisan buah pala menurut Ibu Oyok ada musimannya. Paling laris dibeli oleh orang untuk dijual lagi pada saat ada perayaan hari raya dan juga akhir tahun. Di hari-hari sepi, biasanya Ibu Oyok akan berhenti produksi. Namun demikian, stok tetap ada untuk mereka yang mau membeli.

Seperti saat kami mengunjunginya, kami melihar seember besar manisan pala basah yang sudah hampir satu bulan. Saya pun langsung merinding "what satu bulan". Melihat perubahan raut wajah kami  Ibu Oyok langsung menyodorkan masing-masing satu manisan pala kepada kami.

Hmmm... satu gigit pala masuk ke dalam mulut. Masih kriuk kriuk dan rasa sepat pahit khas pala masih kental terasa. Bagi penyuka manisan pala, kamu pasti suka. Menurut Ibu Oyok, buah pala menjadi awet karena gula yang sudah dicairkan. Manisan pala bisa awet hingga satu tahun bahkan tanpa perlu masuk kulkas, tetapi harus ditutup rapat agar tidak dikerubungi serangga. Jadi jangan khawatir ya!  

Selain yang basah, Ibu Oyok juga memproduksi manisan pala kering, ada yang warna hijau, pink, dan putih. Menjawab kekhawatiran yang kembali tergurat di wajah kami, Ibu Oyok berkata bahwa pewarna yang dipakainya adalah pewarna khusus makanan. Dia membelinya di apotek. Untuk takaran pasti aman karena Ibu Oyok pernah mendapatkan pelatihan singkat dari IPB.

Kami pun diminta untuk mencoba varian pala kering ini. Ketika digigit pala tetap krenyes, hanya rasa pahitnya tidak terlalu kentara karena ada butiran gula yang cukup mendominasi rasa. Menurut Ibu Oyok manisan yang paling laku adalah manisan kering. Cuma bagi aku, yang memang meminimalkan gula, aku lebih memilih yang basah karena rasanya masih asli buah pala.

Begini Caranya Memproduksi Buah Pala
Tangan Ibu Oyok denga lihainya membentuk buah pala menjadi bentuk bunga. Buah pala yang bulat seketika jadi bunga yang mekar. Ibu Itu pun mulai menceritakan bagaimana proses pembuatan manisan pala. "Yang kering memerlukan butuh waktu yang lebih lama karena ada proses pengeringan sekitar 2  hari 2 malam. Klo yang basah, sesudah dibentuk menjadi bintang kemudian direndam dengan air gula, lalu dibiarkan begitu saja.

Proses awalnya sama, yaitu direndam dalam air garam selama empat hari. Setelahnya baru berbeda. Yang kering prosesnya lebih lama karena ada proses pengeringan, ada proses diremas-remas dengan gula. Setelahnya didiamkan, lalu setelah agak kering, buah pala diremas-remas lagi dengan gula. Proses selanjutnya dijemur di bawah matahari. 

Malamya "dioven" secara tradisional, yaitu pala diletakkan di atas semacam tampi bujur sangkar. Lalu di bagian bawah ada kompor menyala yang ditutup panci. Panas itu yang kemudian mengeringkan pala. Jika esoknya matahari terbit, Ibu Oyok akan menjemurnya di bawah sinar matahari. Malamya proses pengovenan dilakukan kembali. Jika sudah benar-benar kering, baru manisan pala siap dijual.

No Branding-Branding-an
Tahun milineal ini di saat orang-orang tergila-gila dengan branding, Ibu Oyok tetap mem-packing pala olahannya dengan plastik putih bening tanpa brand apa pun.

Menurutnya, dia pernah melakukannya. Hanya saja para pelanggannya komplain karena manisan pala ini akan dijual lagi sehingga merepotkan mereka untuk mem-packing kembali.

Mungkin branding memang kurang cocok dengan usaha kecil menengah macam Ibu Oyok ini. Aku juga kurang tahu karena memang bukan ahli branding Namun yang kutahu, Ibu Oyok butuh bantuan walaupun kata itu tidak keluar litterally dari mulutnya.

"Iya dari dulu, kami dijanjikan mesin pembentuk buah pala jadi bunga mekar. Mana... sampe sekarang juga nga ada." Katanya sambil tertawa.

Ketika ditanya harapannya mengenai manisan buah pala... sekali lagi Ibu Oyok tertawa, "emak sudah tua". Katanya...

Ibu Oyok mungkin tak lagi memikirkan untuk membuka peluang pasar internasional. Karena sudah cukup baginya memiliki rumah tempat tinggal dan melihat anaknya menikah dan melahirkan cucu-cucu baginya. Dia tak lagi memikirkan order berton-ton datang dari luar negri yang membuatnya jadi super kaya.

Tampaknya manisan buah pala ini memang tidak terlalu seksi untuk dikelola secara profesional. Mungkin! Bahkan dengan hasil yang dimiliki oleh Ibu Oyok, tak satu orang anaknya pun sampai saat ini melirik usaha Ibu Oyok untuk diteruskan. Padahal  sudah jelas terlihat di depan mata bagaimana hasil yang tak didapat.  

Kita biarkan saja statement mungkin yang mengawang-awang itu tidak terjawab. Jawabannya mungkin bisa datang dari Pemerintah agar bisnis buah pala ini bisa lebih maju... Syukur-syukur bisa setenar buah kurma...

Tapi, untuk memajukan UKM seperti Ibu Oyok jangan juga menuntut banyak dari pemerintah. Kita juga dapat membantu usaha kecil Ibu Oyok. Caranya cukup cintai makanan Indonesia. 

Bagi kamu yang minat menjadi reseller, Ibu Oyok membuka kesempatan sebesar-sebesarnya. Yuks kita cintai produk-produk Indonesia....Yuk kita majukan UKM UKM seperti usaha Ibu Oyok. 

dokpri
dokpri
Setelah lebih setahun vakum dari Kompasiana, akhirnya ada kesempatan diajak kulineran ke Bogor oleh KPK. Cerita panjang di atas tidak lengkap karena saya belum menceritakan bagaimana hari Minggu mesti berpadat-padatan naik commuter line. Dan akhirnya bisa sarapan "Roti Stasiun" yang lagi promo beli satu gratis satu melalui sebuah aplikasi yang lagi nge-hits di Stasiun Bogor. 

Terima kasih untuk makan siangnya, nasih sayur asem dan ikan bakar juga jus alpukat tanpa susu dan gula karena niat langsing itu memang masih ada. Terima kasih untuk kebersamaanya dalam satu hari itu. 

Semoga kita dapat bertemu lagi di event-event selanjutnya. Terima kasih untuk foto-foto dan video kecehnya Mas Rahab Ganendra. Buncha untuk chit chat-nya di dalam mobil. Terima kasih juga untuk Mas Agung Hans yang bisa diambil insta-story-nya tanpa permisi. Untuk Pak Sutiono Gunadi, Mbak Nisa, dan Erni yang juga ternyata orang Batak (sama ya kita) dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih!  

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun