Saya teringat kembali dengan topik double checkdan tripple check yang belasan tahun yang lalu saya pelajari di bangku kuliah saat saya membaca artikel mengenai seorang Ibu yang memviralkan video dua orang lelaki asing yang dituduh sebagai pasangan LGBT ketika mereka "bergaya mesra" saat berboncengan motor.
Jadi jika seorang penulis ingin menaikkan beritanya, please semua data dicek bukan hanya sekali, tapi dua kali, tiga kali, atau lebih untuk menjaga keakuratan data. Jika sudah naik cetak (karena dulu memang belum ada media online) dan ternyata salah, tentunya media massa harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Masih terngiang jelas ucapan tersebut keluar dari mulut dosen saya yang sudah sepuh mantan wartawan senior dari sebuah media tersohor di Indonesia.
Artikel  yang viral itu terjadi saat di lampu merah, seorang ibu  men-shoot adegan mesra dua laki-laki berdarah Timur Tengah yang menurutnya tercyduk sebagai oknum skandal LGBT yang memamerkan kemesraannya di depan publik. Dia kemudian mempostingnya dan video itu menjadi viral di media sosial. Akibat postingan tersebut, pria Arab tersebut kehilangan pekerjaannya,  ibu dari kakak beradik itu jatuh sakit dan sang adiknya saat ini begitu down akibat social punishment yang diberikan warganet.
Ketika ada salah satu orang sanak family mereka mengklarifikasi bahwa mereka benar adalah saudara kandung yang baru bertemu dan mereka bukan pasangan LGBT, masih saja ada yang ngotot bahwa dari gerak-gerik yang dipertontonkon dari video yang viral mereka jelas jelas mereka adalah PASTI para oknum LGBT.Â
Saya belum menonton video itu dan juga tidak berniat untuk menonton videonya. Saya juga bukan pendukung LGBT, tetapi bukan juga yang anti sangat dengan LGBT.
Saya memandang kasus ini dari seseorang yang pernah belajar mengenai double checkdan tripple check. Saya melihat bahwa bagi seorang warganet yang akan memposting video, tulisan, atau opini mengenai (terlebih lagi) keburukan seseorang semestinya harus melakukan hal tersebut. Apalagi saat si ibu menegur kelakuan kedua pria itu  dan mereka langsung menjawab bahwa mereka kakak beradik, bukan pasangan LGBT. Namun si ibu tidak mengindahkan jawaban mereka dan dia tetap bersikukuh pada pendapatnya bahwa mereka adalah pasangan LGBT.Â
Saran saya jika ibu tersebut benar-benar kukuh pada pendapatnya semestinya dia harus membuntuti dua pasangan tersebut. Dia bisa berlagak seperti penyelidik atau penyidik meminta ID mereka yang menyatakan mereka benar kakak beradik. Jika tidak mau terang-terangan seperti itu, ada baiknya ibu itu berlagak seperti detektif melakukan undercover investigation. Ibu itu harus membuntuti kedua orang itu hingga mendapatkan fakta bahwa dua orang itu adalah benar pasangan LGBT. Tanyakan pada orang-orang yang mengenal mereka. Jika iya, barulah ibu tersebut boleh mempostingnya.
Weleh kok repot banget harus begitu begitu segala? Mana ada waktu saya melakukannya?Yahhh memang harus begitu. Ketahuilah hal-hal yang buruk yang kita posting mengenai orang lain itu memberikan dampak yang begitu besar. Jadi, jangan Anda kira jika Anda sudah memiliki smartphone canggih, Anda bisa sebebas-bebasnya memposting apa pun di media sosial.
Berita terakhir yang saya dengar dari cerita ini adalah si ibu sudah meminta maaf. Pertanyaannya apakah meminta maaf sudah cukup dan bisa menutup kasus ini. Saya juga belum tahu.Â
Namun moral of the story adalah hati-hati memposting apa pun yang berkaitan dengan orang atau pihak lain. Lakukan double check, tripple check, dan check check lainnya jika benar Anda ingin mem-postingnya karena itu bukan hanya berbahaya bagi para subjek di dalam cerita Anda atau cerita itu bisa berbalik menjadi senjata makan tuan yang mencelakakan Anda.
Jadi, bijaklah menggunakan media siosial Anda!