Mohon tunggu...
sono rumungso
sono rumungso Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlukah Mendatangkan IMF Lagi?

28 Agustus 2015   11:15 Diperbarui: 28 Agustus 2015   11:15 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupiah melemah mulai awal tahun, dari 12.000 per dollar Amerika menjadi 14.000 menjelang akhir tahun ini. Pertumbuhan ekonomi di bawah 5% tidaklah memenuhi harapan Pemerintah. Asumsi nilai rupiah yang keliru terhadap dollar saat merancang APBN, menaikkan harga minyak saat harga minyak dunia cenderung turun, merupakan duka yang harus dirasakan akibatnya. Gubernur Bank Indonesia menepis anggapan potensi terulangnya krisis 18 tahun yang lalu dengan beberapa penjelasan normatif saja (Kompas, 28 Agustus 2015) . Belum jelasnya paket kebijakan yang signifikan yang dikeluarkan Pemerintah membuat situasi berkembang ke arah yang tidak menentu.

Kita ingat krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 diawali dengan krisis Thailand. Pemerintah Thailand saat itu mempunyai beban hutang luar neger yang sangat besar, belum lagi permainan spekulan yang memborong cadangan mata uang asing. Meskipun Pemerintah memberikan stimulan untuk menggenjot export, tetapi usaha ini menjadi sia-sia. Krisis di Thailan berimbas ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Awalnya, para investor asing di Indonesia masih percaya kepada para pengambil keputusan untuk mengantisipasi badai ekonomi. Berbeda dengan Thailand di mana krisisnya murni di sektor ekonomi, persoalan di Indonesia jauh lebih komplek, tidak hanya di sektor ekonomi tetapi fundamental dan stabilitas politik, keamanan dan implikasi sosial yang juga tergoncang dengan peristiwa kelabu yang terjadi saat itu.

Di saat kondisi ekonomi yang terjun bebas, datanglah IMF ke Indonesia. Tidak tahu siapa yang mengundangnya, tetapi tujuannya saat itu adalah untuk mengembalikan kepercayaan pasar dengan paket baillout sebesar USD$ 43 juta. Tidak ada yang gratis, istilah inipun tepat disematkan pada IMF. Lembaga keuangan dunia ini memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintha Indonesia. Bukan perkara yang gampang, tetapi keputusan tetap diambil dengan asumsi Indonesia bisa keluar cepat dari krisis ekonomi. Beberapa syarat yang diminta oleh IMF antara lain adalah meminta Bank Indonesia menaikkan suku bunga, menghapus subsidi untuk pangan dan energi untuk menghemat rupiah dan menutup 16 bank swasta. Ditutupnya bank swasta tersebut (sebagian bank tersebut dikelola orang dekat Presiden Soeharto) memicu gelombang penarikan dana tunai yang besar-besaran. Inflasi pada tahun 1997 sebesar 11.6% menjadi 65% pada tahun 1998. Belakangan diketahui IMF melakukan eror dengan pendekatan dan syarat yang diajukan.

Dari pembelajaran yang terjadi, timbul sebuah pertanyaan apakah krisis tahun 1997-1998 bisa terulang kembali? Apa tanda-tandanya? Potensi selalu ada, tetapi apa yang terjadi saat ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur BI, bukan krisis yang terjadi 18 tahun yang lalu. Krisis yang terjadi sekarang bukan kombinasi krisis ekonomi-politik-sosial yang akan berdampak luas. Yang perlu dilakukan Pemerintah adalah meyakinkan private sector untuk tidak keluar dan menarik modalnya di Indonesia. Kepanikan Pemerintah tampak ketika memberikan teguran kepada JP Morgan terkait imbauannya kepada para investor. Akan tetapi jika Pemerintah tidak mampu menyakinkan dan menarik modal dari sektor swasta tersebut, ada kemungkinan kita sulit keluar dari krisis dan rupiah akan terus melemah. Dengan kondisi ini, akankah pemerintah akan berteriak dan memanggil kembali IMF untuk datang? Pemerintah tentu belajar dari pengalaman di masa lalu, coping mechanisme untuk krisis harus sudah ada di tangan dan menjadi standar operating procedur baku yang mesti dijalankan. Apakah Pemerintah memiliki mekanisme menghadapi krisis melemhanya rupiah ini? Entahlah, kita tunggu paket strategis Presiden Jokowi minggu depan.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun