[caption id="attachment_308120" align="aligncenter" width="620" caption="Sumber foto: kompas.com"][/caption]
Hari Anti Korupsi sedunia 9 Desember sudah datang lagi. Seluruh dunia memperingatinya dan tidak terkeculai di Indonesia. Awal pekan kemarin di berbagai seantero negeri, elemen bangsa turut memperingati hari tersebut. Beragam cara dilakukan untuk merefleksikan tentang bahayannya korupsi. Ada yang menggelar seminar, menggelar unjuk rasa di berbagai pusat pemerintahan baik pusat maupun daerah, memasang seruan-seruan tentang korupsi mulai dari pemasangan spanduk, baliho, iklan, dan sebagainya. Jakarta sebagai ibukota negara menjadi pilihan tempat berbagai pengunjuk rasa untuk mengekspresikan maksudnya. Mungkin sebagian jalanan di Jakarta Senin kemarin (awalnya memang sudah macet) penuh dengan kemcetan akibat demo yang berlangsung di ruas-ruas jalan protokol ibukota.
Tidak hanya itu, kalau kita perhatikan satu hari sebelum peringatan Hari Anti Korupsi Internasional dimana-mana (utamanya) di titik-titik yang menjadi pusat perhatian) dipasangi spanduk mengenai korupsi. Sayangnya, seruan-seruan itu dipasang di tempat-temoat yang menurut Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terlarang untuk dipasangi. Umumnya itu ada di Jembatan Penyeberangan Orang, Halte-halte bus kota dan Trans Jakarta, dan beberapa median jalan. Anehnya lagi seruan spanduk itu sangat tendensius isinya. Beberapa isi spanduk itu terang-terang menyebut keterlibatan Presiden SBY dan Keluarganya terhadap kasus-kasus korupsi yang menyita perhatian publik, seperti, Cabtury, Hambalang, SKK Migas.
Saya katakan tendensius karena isinya sangat provokatif dan mengundang potensi terjadinya pembiasan berita di publik. SBY bukan satu-satunya nama yang disebut dalam spanduk itu akan tetapi ada juga menyebut keterlibatan anaknya dalam sejumlah kasusu korupsi. Penulis meyakini kalau pembuat spanduk-spanduk itu adalah lawan politik SBY dan keluarganya. Bisa jadi berasal dari partai politik yang tidak sepaham dengan SBY, bisa juga ini dibuat oleh seseorang dan organisasinya yang kini sedang ‘perang’ dengan Presiden. Publik sudah tahu bahwa ada mantan kader partainya SBY yang pernah menjadi Ketua Umum kemudian mendirikan sebuah Organisasi Kemasyarakatan. Mantan Ketua Umum partainya SBY itu kini telah berhenti karena menjadi tersangka sebuah kasus korupsi dan tinggal menunggu waktu ditahan.
Publik sebenarnya enggan mencermati isi spanduk yang dibuat oleh eks mantan Ketua Umum partai pemenang pemilu 2009 lalu itu. Keengganan publik terjadi karena serangan yang dilakukan semata-mata didasari karena dendam orang itu kepada pendiri partai itu. Jauh sebelum orang itu jadi tersangka, menurutnya, ada campur tangan SBY dan orang-orang partai itu yang tidak suka dengan keberadaannya sebagai Ketua Umum saat itu. Dilakukanlah berbagai cara dan siasat untuk mengganti si mantan Ketua Umum yang kini menjadikan rumahnya menjadi Rumah sebuah Ormas yang didirikannya. Hemat saya, untuk orang itu supaya berpikir jernih bahwa dia ditetapkan tersangka oleh KPK karena memang dirinya tersangkut masalah hukum dan tidak adak kaitannya dengan SBY. Jangan kesalahan yang kita buat sendiri lalu melimpahkan ke muka orang lain. Kesantunan yang menjadi jargon eks Ketum itu harus direalisasikan dalam hal ini.
Selanjutnya, saya juga akan mengkritisi ketegasan dar Pemprov DKI Jakarta tentang maraknya alat-alat peraga (spanduk) yang terpasang di tempat-tempat yang terlarang. Jakarta yang kini dipegang oelh Gubernur baru dari Solo harus tegas dalam menyikapi. Ketegasan Gubernur DKI Jakarta jangan diwujudakan dalam menggusur warga-warga yang tinggal di pinggiran waduk saja. Ketegasan Gubernur harus juga sama seperti menertibkan Pedagang Kaki Lima di pusat-pusat perbelanjaan dan badan-badan jalan. Kembali ke kasus spanduk yang menyudutkan SBY dan keluarga, jangan karena yang diserang SBY dan keluarga oleh bekas kader partainya Gubernur diam saja.
Saya tahu bahwa Gubernur Jakarta sekarang adalah kader partai yang menjadi pengkritik utama pemerintah. Standar ganda tidak boleh diterapkan oleh Gubernur ketika ada pesan spanduk di jalana Jakarta yang menyudutkan partainya yang berlogo moncong putih langsung ditertibka. Tapi spanduk yang bukan menyerang partainya didiamkan begitu saja tanpa adanya tindakan pencopotan. Ada ratusan aparat Polisi Pamong Praja yang dimiliki Gubernur Jakarat selalu siap 24 jam kalau hanya diminta menurunkan spanduk yang menghasut. JPO dan tempat-tempat terlarang di Jakarta tidak boleh menjadi ajang sebagian orang ‘berperang’ opini di publik. Silakan untuk ‘perang udara’ sudah ada tempatnya bisa melalui tayangan iklan di media massa dan lain-lain.
Saya sebagai warga ibukota Jakarta juga kesal dengan kotornya fasilitas umum seperti JPO, halte, dana lain-lain kalau ada alat peraga menempel. Keindahan ibukota jadi terganggu dengan adanya spanduk-spanduk itu. Konsistensi Pemprov DKI Jakarta untuk membuat daerahnya bersih, indah, rapih, tertib, teratur harus dimulai dengan cara membersihkan dan mencopot alat-alat peraga yang terpasang di tempat fasilitas umum. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H