ENTAH kenapa setiap ajang Pilkada di Tangerang Selatan (Tangsel) isu "politik dinasti" selalu mencuat. Politik dinasti menjadi "politik bunyi-bunyian" yang diduga ditujukan pada salah satu kelompok politik yang kini tengah berkuasa. Padahal figur walikota Tangsel lainnya, di luar kelompok yang kini berkuasa juga punya irisan dengan kekuasaan yang lain.
Di dalam kekuasaan, sudah barang tentu siapa yang berkuasa akan memboyong orang-orang yang ikut membantunya dalam merebut kekuasaan. Ini bisa disebut dengan politik dinasti? Anehnya, ketika di banyak daerah isu politik dinasti sudah "tidak laku" tapi kenapa di Tangsel masih ada yang menyuarakan. Apakah tidak ada yang lebih menarik ketimbang hal tersebut.
Belum selesai politik dinasti, kini mencuat lagi isu "putra daerah" yang dikapitalisasi untuk memunculkan kandidat walikota lainnya. Tangsel yang merupakan kota penyangga Jakarta, notabene masyarakatnya urban. Isu putra daerah "sama garingnya" dengan politik dinasti.
Dengan kondisi masyarakat Tangsel yang urban tersebut, tidak bisa lagi kita berbicara sentimen, politik identitas atau apapun namanya. Tragisnya lagi isu putra daerah yang digulirkan ini lagi-lagi digunakan untuk menyerang kelompok tertentu yang kini tengah berkuasa.
Salah satu kandidat walikota Tangsel, Aldrin Ramadian justru memilih untuk tidak terjebak pada isu-isu tersebut. Sebagai salah satu kandidat, ia lebih memilih mengusung isu keberagaman, pluralisme merespon fakta empirik masyarakat Tangsel yang nyatanya urban tadi. Dalam banyak kesempatan, Aldrin-demikian ia akrab disapa, menilai keberagaman masyarakat di Tangsel justru menjadi pondasi kuat dalam membangun Tangsel ke depan.
Setidaknya Aldrin tidak menghilangkan motto Tangsel sebagai kota "Cerdas, Moderen, Religius," ia hanya menambahkan satu kata yakni "berbudaya." Tangsel selain sebagai kota yang modern, religius, orang-orangnya cerdas dan juga berbudaya.
Jadi sekali lagi, pembacaan isu politik yang dilakukan Aldrin dengan menyuarakan "keberagaman" dimaksudkan untuk mengubah mindset warga Tangsel yang masih primordial. Dan saya yakin, ketika tulisan ini dibaca, saya bakal dituduh sebagai pendukung Aldrin. Nyatanya, siapapun warga negara, ia berhak memilih dan dipilih. Dengan demikian, apakah benar politik dinasti, putra daerah, dan keberagaman yang berkembang menjelang Pilkada Tangsel sebatas wacana politik? Saya kembalikan ke pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H