"Ajaran-ajaran dasar agama jangan dikorbankan," begitu kata KH Ma'ruf Amin (KMA) membuka perbincangan, kira-kira setahun yang lalu. Kenapa saya coba ulas kembali? Ya karena sampai hari ini upaya memecah belah bangsa mengatasnamakan agama masih terjadi. Hanya saja beda metodenya. Hoaks, pemelintiran dalil secara subjektif, tanpa mempertimbangkan dalil lain, persekusi dan banyak lagi.
KMA mengingatkan saat itu, untuk menghindarinya, ada baiknya agama tidak dipahami secara esklusif dan ekstrim. Para tokoh agama harus memahami agama dengan melihat kondisi objektif bangsa Indonesia yang beragam, agar pemahaman agama lebih moderat. Oleh karenanya sampai sekarang saya pribadi masih mengagumi pemikiran-pemikiran KMA yang biasa dipanggil oleh para santrinya, Abah.
Peran para tokoh agama- para ulama tanggungjawabnya tidak lagi sebatas tanggungjawab keummatan, tetapi juga tanggungjawab kebangsaan. Jika dulu merebut kemerdekaan melalui gerakan politik, kali ini, lanjut dia, harus juga merambah pada gerakan ekonomi. Dua tanggungjawab tersebut jika dicacah, setidaknya menelorkan lima gerakan, dan saya masih ingat juga soal itu. Antara lain; gerakan perlindungan, gerakan penguatan, gerakan penyatuan, gerakan pengabdian dan yang tak kalah penting gerakan kebangsaan.
KMA diam sejenak, lantas melanjutkan pembicaraannya. Ia katakan ajaran atau akidah-akidah yang menyimpang akan mengubah arus cara berfikir yang berujung pada ekstrim radikal, baik itu radikal agama maupun radikal sekuler.
"Kita itu harus saling mencintai, mengasihi dan menyayangi. Ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniyah," kata KMA, mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan sekarang Mustasyar PBNU.
Untuk menjaga bangsa dan negara ini, perlu kerjasama yang baik antara ulama dan umara. Agak sulit rasanya, jika tidak ada penyatuan kekuatan antara keduanya dalam menjaga bangsa dan negara.
Kita kerap disuguhi pemikiran hitam-putih, sampai-sampai menutup ruang kompromi, adaptasi, fleksibel terhadap pendapat yang lain. Akibatnya, cara berfikir kita semua cenderung kaku. Agama yang tadinya membuka ruang toleransi berubah menjadi kekerasan mengatasnamakan agama. Sementara, seperti disampaikan di atas, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, dan itu tidak bisa dihindari lagi. Agama yang seharusnya tidak lepas dari konteks ke-Indonesiaan, justru yang terjadi dominan dipengaruhi manipulasi mengatasnamakan agama oleh pelakunya.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, agama, dalam hal ini Islam pada khususnya harus moderat yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), toleransi (tasamuh) dalam hubungan antar-manusia.Â
Disinilah KMA menegaskan, bahwa agama tidak menjadi faktor pemecah, sebaliknya merupakan faktor pemersatu. Agama lain, seperti Budha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konghucu mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam sendiri mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamiin) dan perjanjian (mu'ahadah). Inilah yang dimaksud oleh KMA sebagai perspektif teologis. Sementara ini dulu dari saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H