DULU, saya diajak seorang rekan untuk mengunjungi kediaman Kyai Ma'ruf Amin, di wilayah Tanara, Serang, Banten. Kala itu, beliau masih menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Saya hanya mengenal sosok Kyai dari berbagai media, belum pernah bertemu langsung. Saya berpikir, tak apalah melihat langsung sosoknya sekaligus silaturrahim.
Kami berangkat, kalau tidak salah kira-kira pukul 17.00 Wib, melalui tol Tangerang-Cilegon. Harapannya bisa bertemu beliau selepas Maghrib. Benar saja, sekitar pukul 18.40 Wib kami tiba di kediamannya. Padahal saat itu kepingin sekali menunaikan salat di masjid tua, saya lupa namanya masjid itu. Jaraknya tak begitu jauh dari kediaman beliau yang posisinya di tengah komplek pondok pesantren Tanara. Menurut cerita orang, masjid tersebut merupakan peninggalan Syekh Nawawi al-Bantani, dimana di komplek masjid itu juga terdapat petilasan Syekh Nawawi. Kami hanya melaksanakan salat magrib di salah satu langgar (musala) di pinggir jalan arah ke Tanara.
Setibanya disana, kami langsung menuju "rumah utama." Menuju ruang utama dipenuhi deretan meja memanjang dan kursi.
Selang 10 menit kami duduk, keluarlah Kyai Ma'ruf. "Oh ini beliau," di benak saya. Â Seorang ulama pimpinan tertinggi NU yang sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), wadah organisasi tempat berhimpunnya berbagai organisasi Islam.
Selain kami, bertiga, ada tamu lain yang sudah menunggu. Kyai Ma'ruf menyapa dan menyilahkan kami menikmati secangkir teh yang telah dihidangkan dan beberapa kue kampung. Tamu yang lebih dulu menunggu itu kemudian bertanya kepada Kyai Ma'ruf, sesaat usai bercengkerama.
"Kyai bagaimana sebenarnya Islam memandang kehidupan," ditanya demikian Kyai Ma'ruf diam sejenak.
Begini, kata Kyai Ma'ruf. Saya pun akhirnya memilih menjadi pendengar yang baik. "Islam itu agama yang universal. Rahmatan lil 'alaamiin menjadi misinya. Rahmat bagi sekalian alam. Berarti Islam tidak membedakan kelompok, suku, golongan maupun bangsa," Â demikian kata Kyai Ma'ruf membuka pembicaraan.
Islam bukan hanya saja merupakan agama penutup bagi agama-agama yang dibawa Rasul, sebagaimana Surat Al-Ahzab: 40. Tetapi Islam juga merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt untuk seluruh ummat manusia, dimanapun ia berada, dan kapanpun ia hidup.
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagaimana pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui," demikian Surat Saba' ayat 28 yang beliau tukil.
Oleh karenanya, Islam memiliki prinsip-prinsip yang sempurna untuk menjawab setiap permasalahan yang muncul, dimanapun dan kapanpun.
Beliau kembali mengutip Surat Al-Maidah: 3 yang artinya, "...pada hari ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhoi Islam itu jadi agama bagimu."
Beliau menyeruput teh sejenak, kembali melanjutkan pembicaraan dan kali ini menyinggung Surat An-Nahl; 89 yang artinya, "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri."
Dengan demikian ajaran Islam lanjut dia, sebenarnya sudah menyediakan solusi atas permasalahan yang dihadapi ummat manusia melalui teks syariat (nash syara') baik itu yang ada di dalam al-Quran maupun hadist Nabi Muhammad Saw. Tapi adakalanya, teks syariat itu menyebutkan secara langsung dengan jelas, tersurat-manshush. Kadang juga secara tidak langsung, tersirat-ghairu manshush, dimana disitu hanya dengan menjelaskan prinsip-prinsipnya saja. Â
Dari situ akan muncul pertanyaan, lanjut Kyai Ma'ruf, bagaimana teks syariat yang terbatas, karena al-Quran sebagai wahyu diturunkan dan hadist sebagai penjelasannya terhenti hingga Nabi Muhammad Saw wafat, padahal tuntutannya harus mampu menjawab berbagai permasalahan  yang muncul sesudahnya sampai akhir zaman.
Jawabnya "sangat mungkin." Karena teks syariat yang terkait dengan prinsip-prinsip keagamaan, selain ada yang bersifat spesifik adapula yang bersifat umum dan global. Untuk itu, sangat dimungkinkan bagi setiap muslim untuk menggalinya lebih dalam. Nah, penggalian inilah yang disebut dengan ijtihad. Kapanpun dan dimanapun, ketika diperlukan suatu hukum untuk menjawab masalah yang muncul.
Tapi ingat, Kyai Ma'ruf menekan nada bicaranya, menggali teks syariat melalui ijtihad harus sesuai dengan syarat dan rukun ijtihad. Dari mekanisme ijtihad inilah lahir pendapat ahli agama (ulama) sebagai respon atas persoalan yang muncul di zamannya.
"Jadi sebenarnya bisa dilakukan ijtihad baru oleh ulama selanjutnya, jika pendapat ulama sebelumnya dianggap sudah tidak memadai lagi menjawab persoalan baru akibat perubahan situasi dan kondisi ('illat). Begitu seterusnya sampai akhir masa."
Hasil ijtihad para ulama yang dimaksudkan guna memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan dalam waktu dan tempat berbeda inilah yang disebut dengan fikih.
Dari penjelasan Kyai Ma'ruf akhirnya saya sedikit tahu, fikih itu ternyata bersifat dinamis. Saya pun menengok ke wajah teman saya itu sambil manggut-manggut. Tiba-tiba sudah ada lagi tamu yang datang. Kami pun memutuskan untuk keluar, mempersilahkan tamu yang baru datang tadi, sekaligus pamit dengan Kyai Ma'ruf.
Sambil keluar ruang tamu, teman saya itu berbicara pelan kepada saya, "Beliau (Kyai Ma'ruf) itu ahli fikih." Ooo....iya, iya, jawab saya. Kami pun melanjutkan obrolan santai di teras rumah, tak lama memutuskan untuk pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H