KAGET, ketika membaca berita dari kontan.co.id, pekan lalu. Badan Direksi Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) telah menyetujui pendanaan hingga 433 juta Dollar AS. Dana itu masing-masing 216,5 juta Dollar AS digunakan untuk perbaikan sarana infrastruktur pemukiman kumuh di Indonesia, yang terakomodir melalui Program Nasional Kota Tanpa Kumuh (Kotaku).
Kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, di Indonesia masih ada sekitar 29 juta penduduk hidup di pemukiman kumuh, 11 juta di antaranya diakui dia belum mampu mengakses ke sanitasi dan 9 juta penduduk tidak punya air bersih.
Sekadar diketahui, AIIB – Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB), merupakan konglomerasi keuangan dunia untuk mengimbangi Bank Dunia dan IMF. Konglomerasi ini digagas oleh Tiongkok dengan modal pendirian mencapai 100 miliar Dollar AS, dan kabarnya, setidaknya sudah 35 negara bergabung.
Tapi apakah benar demikian? Apakah benar AIIB untuk mengimbangi kekuatan “kapitalisme institusional” yang lebih dulu lahir seperti Bank Dunia, IMF, WTO dll? Ekstrim saya mengatakan tidak. Saya berasumsi, AIIB merupakan instrumen baru yang digagas oleh “kekuatan global” sebagaimana dulu “kekuatan global” menciptakan ideologi “kapitalisme Vs Komunisme.”
Sekarang “IMF-Bank Dunia Vs AIIB,” ujungnya tetap sama, menguasai negara-negara yang diistilahkan “Millenium Ketiga,” atau dalam istilah ekonomi disebut dengan titik “ekuiblirium - keseimbangan.” Dalam konteks geoekonomi, “keseimbangan adalah memainkan peran penguasaan ekonomi atas negara millenium ketiga.”
Ketika kapitalisme mendapat citra buruk di mata negara-negara “millenium ketiga” maka dibuatkanlah instrumen (ideologi ekonomi) baru, bernama komunisme, yang menawarkan konsep pemerataan ekonomi, bukan “pertumbuhan ekonomi yang meneteskan kemakmuran” yang citranya kadung buruk karena kelakukan negara-negara yang berpaham “kapitalisme,” yang memakai skema agresi militer.
Meski belakangan kapitalisme bereinkarnasi menjadi neo kapitalisme, neo liberalisme, globalisasi, bahkan saya memprediksi 10 tahun ke depan reinkarnasi “neo globalisasi.”
Kendati ini baru sebatas asumsi, saya juga menemukan tulisan menarik yang diulas oleh Desmond Satria Andrian, Edukator Museum KAA Bandung. Dalam narasinya, ia mengurai siapa itu kapitalisme kroni?
Ia berangkat dari penjelasan mengenai pola hubungan negara-negara Selatan dan Utara melalui eksplanasi “Pembangunan Keterbelakangan” dari Andre Gunder Frank melalui bukunya Capitalism and Underdevelopmen in Latin America yang diterbitkan kali pertama pada 1967. Di tahun sama pemerintah Indonesia (Orde Baru) menerbitkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia.
Frank sendiri, mengembangkan pendapat Raul Prebisch tentang negara-negara pusat dan pinggiran menjadi negara-negara metropolis dan negara satelit. Dalam gagasannya, Raul Prebisch lebih membicarakan aspek ekonomi dari persoalan negara-negara pusat dan pinggiran yang dilihatnya dari ketimpangan nilai tukar, Frank malah lebih pada ke aspek politik dari hubungan negara-negara metropolis dan negara satelit tadi. Hubungan itu tak lain hubungan politis dan ekonomi, antara modal asing dengan klas-klas yang berkuasa di negara satelit.
Masih mengutip artikel Desmond Satria Andrian, kembali ia membeberkan bahwa dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, kaum borjuasi di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di negara satelit.