[caption caption="Sumber foto: Suaranews.com"][/caption]INDONESIA, adalah negara yang penduduk Muslimnya berkategori sangat besar. Dalam konteks manajemen tata kelola, Indonesia sudah pasti banyak membuat bingung semua negara-negara di Dunia.
Apa yang membuat bingung? Kita bayangkan mana ada sebuah negara yang mampu melakukan manajemen tata kelola seperti Indonesia. Ia mampu memenej kehidupan masyarakatnya yang ratusan suku, agama dan kepercayaan hidup berdampingan. Belum lagi negaranya berwujud perairan dan kepulauan, plus sumber daya alam yang sangat lengkap di dunia.
Sementara negara-negara lain, terpecah-belah negara-negaranya mulai dari berbasis agama, suku maupun ras. Wajar jika Indonesia menjadi sasaran negara-negara yang memiliki kepentingan besar ekonominya.
Islam Radikal, ya,,,hingga kini masih menjadi tema yang ramai diperbincangkan khalayak. Hampir setiap komentar mengenai anggapan Islam Radikal itu diidentikan dengan gerakan “mengkafirkan” orang yang tidak sepaham dan rutinitas yang dianggap bid’ah. Dan yang paling tren adalah tema-tema terorisme. Kita pun beramai-ramai menghalau gerakan tersebut. Semua pihak pun akhirnya menghalau gerakan itu.
Memang agak kerepotan. Di lain sisi masyarakat kita disibukkan menghalau gerakan Islam Radikal, disitulah gerakan liberalisme menelikung, bahkan sampai memutar, hingga kita semua nyaris tak menghalaunya. Padahal, tema Islam Radikal yang dengan segala bentuk, (terorisme-internasionalisasi wahabi) apapun itu, hanya bagian dari skenario kecil liberalisme.
Samuel Huntington dalam teori The Clash Civilization dikatakan berjalan sejak awal 2000-an pasca-reformasi. Caranya dengan menciptakan kerusuhan massal dengan latar belakang agama. Pendapat Huntington, menurut almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan sebuah bentuk rekayasa sosial untuk merekonstruksi tatanan dunia baru pasca-keruntuhan komunisme pada 1990-an silam.
Perubahan tatanan dunia tersebut sifatnya virtual (rekayasa) yang dilakukan oleh “tangan-tangan tak terlihat” imperium global. Melihat Indonesia dengan dominasi penganut Ahlussunnah Waljamaah, “tangan-tangan tak terlihat” ini akhirnya membenturkan paham Ahlussunnah Waljamaah tersebut dengan gerakan ultra fundamentalis seperti salafi-wahabi hingga ISIS.
Sekelas George Soros pun melempar sinyal. Ia mengatakan bahwa masyarakan dunia ia memastikan terbagi menjadi tiga kelompok peradaban. Ketiganya berlatar agama, yakni peradaban Barat yang Kristen akan berhadapan dengan masyarakat Timur yang punya peradaban Islam dan Konghucu.
Kerusuhan Situbondo, Pasuruan, Tasikmalaya, Kupang, Banjarmasin, Makassar dan terakhir adalah kerusuhan Mei di Jakarta, adalah wujud nyata dari apa yang dimaksud Huntington sebagai perubahan tata dunia yang bersifat virtual.
Gerakan Islam Radikal buktinya dijalankan oleh kelompok yang berfaham Wahabi seperti Al Qaeda in Arabian Peninsula di Yaman, Anshar al-Sharia di Libya, Boko Haram di Nigeria, Al Qaeda Islamic Maghreb Aljazair, al-Shabab di Somalia, Taliban di Afganistan, Muhajidin Indonesia Timur di Indonesia belakangan ISIS.
ISIS dalam urusan strategis politik kepentingan Liberalisme dituding mewakili kepentingan Amerika Serikat dan Inggris menggulingkan Presiden Syiria Bashar al-Assad di luar skenario memanfaatkan kelompok oposisi dan sejumlah bantuan kemanusiaan.